Minggu, 14 Desember 2008

Kecewa

Kecewa

Pernahkah Anda kecewa ? Pasti setiap orang pernah mengalaminya. Termasuk juga saya. Pekan lalu saya mengalami kekecewaan yang luar biasa. Mengalami suatu perasaan tidak senang, tidak puas bahkan marah karena tidak dapat menggapai harapan. Harapan yang sudah saya diidam-idamkan sejak lama. Harapan yang bukan sekedar keinginan. Tapi harapan yang sudah mengkristal menjadi cita-cita saya sejak 5 tahun lalu. Harapan yang nantinya akan menjadi amunisi bagi senjata kehidupan saya sekeluarga.

Ugh…!! Sakit luar biasa hati ini bila mengingat kejadian itu. Namun karena aku harus tetap tegar menghadapinya, rasa kecewa itu terpaksa ku simpan rapat-rapat. Ku bungkus rapi dengan senyuman. Ku kubur di relung hati yang paling dalam. Biar tidak kelihatan oleh siapapun. Termasuk istri dan keluargaku. Padahal namanya juga manusia, setegar apapun menghadapi kekecewaan apalagi jenis kecewanya amat sangat mendalam, biasanya terpancar di wajah. Minimal wajahnya kelihatan murung. Cemberut. Untungnya saat mengaca, raut wajahku tak cemberut-cemberut amat.

Hanya mungkin saat itu, orang lain melihat wajah saya seperti orang bingung. Bibir masih bisa bicara dan tersenyum. Mulut bisa tertawa. Tapi senyum dan tawa yang dibelenggu. Senyum dan tawa yang tidak lepas dan tidak dikehendaki oleh hati, tapi senyuman yang masih ditekan oleh emosi dan pikiran. Hingga terlihat mbetotot dan tidak karuan.

Lepas dari hadapan keluarga, - karena harus kembali ke tempat kerja di perantauan -, pengaruh kecewa itu baru terasa. Pikiran saya tidak fokus. Kepala rasanya berputar-putar. Berjalan seperti melayang. Bangun tidur sempoyongan. Pegang sendok makan tanganku bergetar. Meletakkan gayung air di kamar mandi selalu jatuh. Saat sikat gigi, gusiku justru tertusuk. Pokoknya, gerak motorik saya sepertinya tidak dikehendaki oleh otak. Duh, aneh!

Itu berjalan hampir satu minggu. Beruntung masih bisa mengendarai sepeda motor berangkat dan pulang kerja sejauh 25 KM. Bersyukur masih bisa menjalankan kewajiban mencari nafkah. Anehnya, kalau dibuat kerja dan menulis di depan komputer, malah jadi sembuh. Tapi lepas dari komputer, semua rasa aneh di tubuhku kembali menyerang.

Sempat beberapa kali teriak sekencang-kencangnya di dalam bak air kamar mandi sebagai terapi psikis depresi, tetapi tetap tidak bisa menghilangkan rasa kecewa itu.

Bawang putih yang biasa menjadi andalan obat sakit kepalaku, kini tak mampu lagi menggempur rasa aneh di kepalaku. Paramex yang kadang-kadang kujadikan cadangan, juga ora kroso. Olah pernafasan perut yang menjadi aji-aji pamungkas, juga mental. Tayangan humor tivi, bacaan buku penyemangat jiwa dan semuanya sudah saya coba, tapi nggak ngefek sama sekali. Semuanya nihil. Wiridan solawat dan asmaul khusna memang bisa mengurangi, tapi cuma sebentar. Kumat lagi saat berhenti...

Wah, mosok saya jadi stres gara-gara kecewa. Kan nggak lucu...Sesekali akal sehatku berbicara seperti itu..

Tapi alhamdulillah, seiring berjalannya waktu, bersamaan dengan pertolongan Allah yang kupinta setiap kali usai sholat, sedikit demi sedikit rasa aneh itu berangsur menjauh. Benteng iman di hatiku alhamdulillah masih kuat. Sehingga tak sampai berbuat di luar kendali. Sekarang saya yakin, bahwa semua itu pasti ada hikmahnya. Apalagi Allah tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya.

Filosofi Manggis dan Delima

Filosofi Manggis dan Delima

Buah manggis dan delima tentu tidak asing bagi kita. Di antara kita pasti pernah menyantapnya. Buah manggis rasanya manis. Begitu juga buah delima. Hanya bedanya kalau buah manggis, manisnya legit sedangkan delima manis biasa. Tapi kalau belum matang betul, buah delima kadang rasanya asem banget.

Sebetulnya tidak ada hubungan apa-apa di antara kedua buah tersebut. Hanya saja kebetulan manggis dan delima dijadikan sebagai simbol pesan moral oleh sebuah kerajaan Islam di Jawa Tengah. Inilah yang mendorong saya untuk kemudian mendokumentasikan di dalam tulisan.

Kebetulan saya senang dengan makna filosofis yang terkandung di balik penciptaan sesuatu baik itu makanan, buah-buahan dan ciptaan Allah lainnya. Apalagi di balik makna filosofi itu terdapat pesan moral yang sangat agung. Wah, rasanya senang sekali saya mengulang-ulang dan memikirkannya sebagai upaya tafakkur akan ciptaan Allah. Kan, Allah menjanjikan pahala satu tahun bagi orang yang mau bertafakkur atas ciptaan-Nya selama beberapa saat. Itung-itung beribadah..

Mungkin sewaktu kuliah dulu saya terlalu banyak membaca buku-buku filsafat hingga akhirnya sampai sekarang masih terbawa. Yah, tak apalah. Yang penting tidak sampai menjadi orang yang berfilsafat an sich. Dan tidak sampai terjerumus pada ajaran darmo gandul seperti yang sering dilontarkan kakak saya setiap kali saya membaca buku filsafat. ”Awas lho, kalau kamu terlalu banyak membaca buku filsafat, bisa-bisa kamu tidak solat, tidak puasa, tidak mau menjalankan ajaran agama dan terjerumus pada ajaran darmo gandul,” ujar kakakku menakut-nakuti. ”Ah, ada-ada saja.Yang penting nilaiku A setiap mata kuliah filsafat,” jawabku sambil membela..

Terus terang kita jarang sekali mau memikirkan makna filosofi ciptaan Allah berupa buah-buahan. Begitu juga saat makan manggis atau delima. Melihat ada manggis di atas meja biasanya langsung saja disambar. Ditekan ujung atas dan bawahnya pakai jari, kemudian terbelah dan terlihat dalamnya. Srep.. masuk ke mulut.

Lucunya kadang malah menggerutu. Lho, isinya kok cuma dua biji. Sudah begitu yang satu lagi ukurannya lebih kecil. Padahal kalau sejenak sebelum kita makan mau memperhatikan sebentar saja, maka kita tidak akan menggerutu seperti itu. Kenapa ? Karena jumlah isi manggis sudah ditunjukkan dengan jumlah kulit yang nempel di bagian bawah (mirip pupil). Jika jumlahnya dua, pasti isi manggis jumlahnya juga dua. Dan tidak akan pernah selisih. Apalagi berbeda. Ini artinya pesan sebuah konsistensi. Konsisten antara tindakan dan ucapan. Isi hati dengan perbuatan tidak boleh berbeda. Itulah pesan agama.

Lain daripada itu, buah manggis adalah contoh dari pesan sebuah hadits. Bahwa Allah tidak akan melihat bentuk fisik seseorang. Tapi Allah akan melihat hati dan amal baik seseorang. Biarpun rupanya jelek, kulitnya hitam, yang penting hatinya bersih (dan tentunya manis rasanya, seperti manggis)

Delima. Siapa yang memberi nama delima ? Pasti tidak ada yang bisa menjawab. Paling-paling bilang kalau yang memberi nama delima adalah nenek moyang kita dulu. Benar. Nenek moyang kita lah yang memberi nama delima. Nenek moyang kita dulu adalah orang-orang alim dan sholeh dan pandai ilmu agama. Mereka memberi nama delima agar kita tetap mengingat akan keesaan Allah.

Lho, kenapa bisa begitu. Sebab di dalam buah delima terdapat pesan tauhid yang cukup mendalam. Delima, berasal dari kata ’dal’ (huruf hijaiyah yang ke delapan – silakan hitung barangkali saya salah) dan ’lima’. Artinya, huruf dal yang jumlahnya ada lima. Surat apa yang jumlah huruf dal-nya ada lima. Yaitu surat Al Ikhlas. Orang kampung saya sering menyebutnya surat Qul hu. Di dalam surat ini ada lima huruf dal. Coba dihitung lagi jika kurang yakin.

Semua amal ibadah yang kita jalankan sehari-hari muaranya adalah mengesakan Allah dan penghambaan kepada-Nya. Dan itu terkandung di dalam Surat ke-112 ini. Banyak sekali keutamaan Surat Ikhlas. Salah satunya adalah surat ini mampu menyamai pahala bacaan satu Alquran penuh sampai khatam. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya ’membaca surat Ikhlas sebanyak tiga kali, sama seperti membaca Alquran sampai khatam’. Masing-masing huruf bernilai pahala tentunya.

Dari filosofi buah manggis dan delima ini, mendorong saya untuk terus mencari hikmah dan filosofi dari ciptakan Allah di muka bumi ini. Sembari niat beribadah.

Mavia Minyak Tanah

‘Mavia’ Minyak Tanah

Konversi minyak tanah ke gas elpiji yang sekarang berjalan di Jakarta ternyata membuat sebagian orang menjadi ‘pintar’. Pintar memanfaatkan kesempatan untuk membisniskannya demi meraup keuntungan yang berlipat-lipat.

Apa pasal ? Pasca konversi ke gas elpiji, ternyata minyak tanah tidak serta merta menghilang dari Jakarta. Tengok saja di jalan dan gang-gang masuk perkampungan di Jakarta, pasti pernah kita temui penjual minyak tanah keliling. Mereka tidak beralih menjual gas, seperti yang ada di iklan, tapi tetap keliling menjual minyak tanah. Hanya saja jumlah penjualnya tidak sebanyak dulu.

Begitu juga pangkalan minyak tanah. Pangkalan yang dulu ramai, tidak langsung mati pasca konversi. Beberapa pangkalan yang sering saya lewati, ternyata masih menggeliat beroperasi, meskipun secara sembunyi-sembunyi.

Saat melihat satu, dua, penjual minyak keliling lalu timbul pertanyaan, ”lho kok masih ada orang jual minyak tanah keliling, katanya sudah konversi ke gas elpiji,” tanyaku dalam hati. Dulu, tetangga saya sebelum pindah ke gas, katanya harus mencari minyak ke tempat yang cukup jauh. Itupun harganya mencapai 10 ribu. Tapi, ah, masa bodoh, toh saya pribadi belum membutuhkan kedua bahan bakar itu saat ini.

Ee.. lama-lama kelamaan, di saat musim hujan tiba, muncul keinginan membeli minyak tanah untuk memasak air buat mandi usai kehujanan. Yah, maklum tidak punya kompor gas. Yang ada di kost, cuma kompor bikinan Bang Benih pengrajin asal Depok.

Iseng-iseng coba tanya ke tetangga di mana penjual minyak tanah, ee malah ditertawakan. Ealah nasib..’bukannya tidak mau membeli kompor gas, mpok.. tapi takut meleduk seperti yang di tipi itu..’ jawabku kepada mpok-mpok yang tadi menertawakan saya. Lagian kalau pakai kompor gas semua, terus siapa dong yang beli kompornya Bang Sabenih pengrajin asal Depok, itu..!?

Naluri ’pencari beritaku’ muncul. Kebetulan tiap berangkat kerja, saya sering mampir nyarap di warteg yang letaknya tak jauh dari –bekas– pangkalan minyak tanah. Di pangkalan ini, nyaris tak terlihat ada aktifitas jualan minyak. Sepi dan berubah jadi tempat mangkal tukang sayur. Tiap hari nangkring di situ juga tak pernah lihat tukang minyak keliling menata dagangannya. Drum-drum minyak sudah dibersihkan. Papan nama sudah diturunkan.

Eit..ternyata saya tertipu. ’Pak Tua’ tukang warteg langsung nyerocos cerita ketika saya tanya, kenapa pangkalan ini tidak jualan minyak lagi. Dia langsung cas cis cus membeberkan bisnis minyak terselubung di pangkalan ini.

“Lha.. piye to mas..mas..di dalam rumah pangkalan itu masih banyak minyak tanah. Ya kalau dari luar tidak kelihatan,” ungkap Pak Tua polos. Dia cerita, minyak tanah yang dijual di pangkalan itu diambil dari kampung. Tepatnya dari suatu daerah di Jawa Tengah. Seminggu tiga kali sedikitnya 300 liter habis dijual di Jakarta. Minyak ini diambil dari kampung dengan harga Rp 3500 dan dijual di Jakarta dengan harga antara Rp 9500 – 10.000. Wuih.....!!!

Untuk membungkus jejak transportasi dari kampung, minyak tersebut dibawa pakai travel. Dimasukkan jerigen bekas minyak goreng yang masih ada merknya. “Tuh..lihat saja masih ada mobil dengan plat nomor daerah yang masih parkir di situ. Lha, mobil itulah yang mengangkut minyak,” beber Pak Tua sambil menunjuk mobil APV warna hijau tua yang sedang parkir di situ.

Ck..ck...ck...Hebat...! hebat...!

Coba dihitung, jika seminggu tiga kali jual minyak dengan keuntungan 6500/liter, keuntungan yang didapat minimal 2.5jt/minggu. Edan..po ora..! Pantesan pasokan minyak di kampung juga ikut kacau. Antre minyak terjadi di mana-mana, meski bukan daerah konversi. Lha kalau satu pangkalan seminggu sekali mengambil 300 liter minyak dari kampung dibawa ke Jakarta, kalau ada 50 pangkalan di Jakarta...lak yo habis to jatah minyak buat masyarakat di kampung. Oalah, gemblung tenan..!!

Begitu sadisnya ‘mavia minyak tanah’ mencari uang dengan cara seperti itu. Meskipun secara transaksi bisnis mencari untung adalah hak dalam jual beli, tapi jika kemudian membuat sengsara orang lain yang mestinya lebih berhak (orang kampung), saya yakin agama pasti melarang. Juga masuk kategori kriminal.

Ayo..! Siapa berani mengungkap jaringan mavia minyak tanah ini dan melaporkan polisi..!

Senin, 24 November 2008

Ingin Sehat, Kunyahlah Hingga Lembut

Kunyahlah Hingga Lembut

Perut kita ibarat waduk. Menampung semua makanan dan minuman yang masuk. Tak peduli manis, asem, asin atau bahkan pahit. Selama bisa melewati tenggorokan berarti akan ditampung di perut. Karenanya harus hati-hati dengan urusan perut.


Tanpa diminta, dengan sendirinya, segala makanan yang masuk akan digiling oleh perut kita. Baik di saat tidur maupun jaga, pencernaan kita akan terus bekerja. Tahu-tahu sudah jadi energi penyuplai tenaga bagi tubuh kita.


Ibarat mesin, pencernaan akan terus bekerja. Selama nyawa masih di kandung badan, pencernaan tak pernah berhenti menggiling makanan di perut. Tak peduli yang lunak maupun yang keras, semua akan dilumat oleh pencernaan kita.

Tapi bagaimanapun juga, organ tubuh kita butuh istirahat. Butuh sejenak behenti dari ‘pekerjaan menggiling’, meskipun tidak berhenti total (karena selama masih hidup berarti masih terus menggiling). Ini dimaksudkan untuk relaksasi. Mesin saja butuh istirahat, apalagi organ tubuh kita (kecuali detak jantung, pemompa darah).
Karenanya bagi umat Islam diharuskan puasa. Ibadah puasa akan memberi dampak positif bagi kesehatan tubuh kita. Oleh karenanya bagi yang bisa merasakan manfaat puasa bagi kesehatan, pasti akan semangat menjalankannya, meskipun puasa sunnah.


Bagi yang ‘males puasa’ ada tips lain yang juga bagus buat kesehatan kita. Yaitu, kunyahlah makanan Anda hingga lembut. Makanan yang dikunyah hingga lembut akan membantu proses penggilingan. Usus yang menggiling makanan akan terbantu dalam bekerja.

Rasulullah memerintahkan kita agar jangan tergesa-gesa menelan makanan. Kunyahlah terlebih dahulu hingga lembut. Paling tidak 33 kali kunyahan..(ha..). Upss..!! Jangan kaget dulu. Itu hitungan yang ideal. Kalaupun toh belum bisa sebanyak itu, minimal sudah mengunyah sampai lembut. Yang pasti setelah saya coba, kunyahan 5-10 kali itu belum lembut.

Ambil contoh begini, nasi yang kita kunyah 5-10 kunyahan, (maaf) coba kita keluarkan lagi. Tak perlu banyak-banyak. Cukup seujung lidah. Pasti buliran nasinya masih utuh. Itu artinya belum lembut. Lalu buanglah nasi yang dikeluarkan tadi dan teruskan mengunyah makanan yang ada di mulut hingga (terasa) lembut.
Ulangilah kebiasaan ini setiap Anda makan. Apa saja jenis makanannya. Terutama saat makan nasi. Rasakanlah manfaatnya bagi kesehatan perut. Perut Anda akan terasa ringan. Tidak ada rasa mengganjal di lambung mekipun saat kenyang. Bagi perut buncit (seperti saya) akan terasa biasa. Bahkan jika diniatkan untuk menjalankan sunnah rasul maka Anda dapat pahala. Bahkan dua pahala. Pahala makan untuk beribadah dan mengunyah makanan hingga lembut.


Oleh karena itu, perhatikan urusan makanan Anda. Ingat sabda Nabi ‘Perut adalah Sumber Segala Penyakit’
Selamat mencoba dan mendapatkan manfaatnya..!

Rabu, 19 November 2008

Berebut Hak di Jalan

Berebut Hak di Jalan

Lagi-lagi soal rebutan hak bagi para pengguna jalan. Siapa lagi pelakunya kalo bukan ‘Jagal Jalan’ alias sepeda motor. Kejadian pagi tadi bukan sesama sepeda motor tapi dengan pejalan kaki. Menurutku, jelas jomplang. Kalau ‘Jagal’ dengan ‘Jagal’ mungkin agak sebanding. Tinggal Jagal mana yang ngototnya lebih kencang, gertakannya lebih dahsyat dan ba bi bu-nya tok cer maka dia bisa menang. Tapi dengan syarat dia pada posisi benar, saya bisa maklum, sebab ini Ibu Kota, men..!. (kata judul di film, lebih kejam daripada ibu tiri). Siapa pintar dan benar maka dia tidak akan diinjak-injak haknya.
Tapi, karena kejadian tadi pagi benar-benar ulah ‘Jagal Jalan’ yang biadab, maka kekesalan itu terpaksa saya tumpahnya di blog ini.
Ceritanya begini, di Jl. Sisingamangaraja Jaksel arah ke Bunderan Patung Olah Raga, di situ selalu macet. Bukan hanya karena traffic light, tapi volume kendaraan memang cukup tinggi. Ini disebabkan pertemuan antara kendaraan dari arah Blok M & dari arah Pakubuwono.
Saling serobot sesama Jagal Jalan tak bisa dihindari. Bahkan saling serobot sesama roda 4 menuju jalur cepat juga kerap terjadi. Siapa gesit mencari celah maka selangkah dua langkah akan bisa mendapat tempat di depan. Uji nyali dan kendali emosi harus menjadi benteng bagi Jagal lain yang merasa didahului. Suasana seperti ini tak bisa dihindari. Karenanya butuh kesabaran ekstra ketat. Kita maklum, selama si Jagal yang gesit mencari celah dianggap tidak reseh dan masih dalam batas wajar, ya silakan saja. Kata stiker di spakbore belakang ‘Monggo Silakan Nyalip’. Ini pertanda Sesama Jagal Boleh Saling Mendahului.
Tapi yang membuat saya dan Jagal lain dongkol bahkan ingin ikut membantu nampar mukanya, adalah sikap Jagal yang mengambil hak-nya pejalan kaki di trotoar. Trotoar yang disediakan bagi pejalan kaki, di Jakarta, sering berubah fungsi. Bukan saja menjadi jalan bagi si Jagal, tapi kadang berubah menjadi tempat parkir, lapak kali lima bahkan untuk tambal ban.
Sepertinya, pejalan kaki tadi pagi orangnya santai. Tak terusik dengan hiruk pikuk kemacetan di sampingnya. Merasa berada di jalan yang benar, dia tidak menggubris klakson bersahutan di belakangnya. Alih-alih memberi celah bagi si Jagal untuk mendahuluinya, menoleh ke belakang pun tidak.
Beberapa Jagal yang sadar akan hak si pejalan kaki, lalu tahu diri. Mereka kembali ke jalan yang benar. Turun ke jalan raya dan memberi kesempatan pejalan kaki untuk menggunakan haknya.
Dua sampai lima kendaraan tahu diri. Dalam hatiku mereka cukup dewasa. Baik berfikir maupun berbuat. Hingga akhirnya dia mau kembali ke jalannya dan memberi hak pejalan kaki. Tapi tiba-tiba ada selonong boy memaksakan diri. Klakson dibunyikan berkali-kali. Bahkan terus menjejalkan kuda besinya ke sebelah kanan si pejalan kaki yang sempit. Merasa terusik, pejalan kaki tadi jengkel naik pitam. Dia berhenti dan membalikkan badan. Sepertinya pasang kuda-kuda ingin melakukan sesuatu. Akhirnya, prak…!! Tangan pun melayang ke (helm) kepala si Jagal.
Si Jagal tidak terima. Dia ingin membalas. Sambil membuka helm kuda besinya di standarkan. Ia mendekati pejalan kaki yang menamparnya. Begitu melihat wajah si Jagal masih belia, beberapa jagal lain berhenti melerai. Si Jagal yang masih ‘ingusan’ tadi dipegang tangannya oleh yang melerai. Ia dinasehati. Beberapa Jagal yang simpati kepada pejalan kaki, justru ikut membantu mengomeli bocah ingusan tadi. Satu di antaranya, nyelonong tanpa basa basi. Dia langsung meludah ke muka si bocah tadi. Juh……!!! Langsung pergi.
Sebetulnya saya ingin ‘berpartisipasi’ untuk meludahi, tapi kesempatan itu sudah didahului orang lain. Yah, cukuplah orang lain yang berbuat. Karena sering kali saya dijengkelkan dengan ulah-ulah seperti itu dan hingga mengusik saya ingin meludahi si Jagal brengsek.
Itulah kondisi pengguna jalan di Jakarta. Yang sebetulnya masing-masing sudah diberi hak dan sudah diatur lajurnya sedemikian rupa. Supaya pengguna jalan berada di trek yang sebenarnya.






Selasa, 28 Oktober 2008

Filosofi Lontong, Ketupat dan Lepet

Filosofi Lontong, Ketupat dan Lepet

Tiga macam makanan khas lebaran itu selalu menghiasi meja makan kita setiap Idul Fitri tiba. Mereka yang gak suka makanan itupun terpaksa membuat, karena takut dianggap tidak punya lebaran (karena gak ikut puasa)…

Orang tua kita dulu, tidak asal membuat sesuatu tanpa pesan moral yang terkandung di dalamnya. Apa pesan moral yang terkandung di dalam ketiga makanan tersebut ?

Lontong : (K)lontong-kan hatimu, kosongkan hatimu, gembukkan hatimu. Agar kamu punya sikap peduli dan empati kepada sesama. Salah satu karakteristik lontong adalah lunak / tidak keras. Hati yang gembuk (tidak keras) akan mudah menerima nasehat orang lain. Orang yang hatinya lunak pasti mudah dinasehati, mudah menolong orang lain.

Klontong adalah jembatan kecil. Ia sebagai sarana orang menyebrang dari satu tempat ke tempat lain. Bentuknya bulat dan bolong. Dengan klontong ini, orang akan bisa melangkah dari satu tempat ke tempat lain dengan mudah. Tanpa klontong, orang akan susah payah meloncat untuk menyebrangi jalan.

Sebuah filosofi indah dan menawan dan bisa kita praktekkan di dalam kehidupan kita sehari-hari. ‘Punya hati / jiwa yang lapang’, ‘Suka membantu, menolong dan meringankan beban orang lain’, ‘Mudah dinasehati dan mudah menerima nasehat itu sebagai pengingat diri’

Ketupat : Bahasa Jawa-nya Kupat. Kepanjangan dari nga-KU le-PAT (berani mengakui kesalahan). Tidak ada yang sempurna di dunia ini kecuali Allah dan Rasul. Kita pasti pernah melakukan kesalahan. Namun amat jarang sekali diantara kita yang mau mengakui kesalahan. Baik salah kepada Allah atau salah kepada orang lain.

Orang yang mengakui kesalahan berarti dia orang yang pemaaf. Tanpa diminta maaf oleh orang lain yang berbuat salah kepadanya maka ia akan memaafkan. Suatu saat ketika dia salah, maka langsung mengakui dan meminta maaf.

Zaman sekarang berat sekali mengakui kesalahan diri sendiri. Yang ada hanyalah menutup-nutupi kesalahan kita.

Dengan Kupat berarti kita harus gentle mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada orang yang kita buat kesalahan tadi

Lepet : Makanan ini hanya ada di sekitar Jawa (tengah dan timur). Juga bagian dari makanan khas lebaran. Selain jawa tengah dan timur, mereka tidak membuat makanan ini.

Bahan bakunya ketan. Bungkusnya memakai daun kelapa muda. Kalau yang suka variasi, ya ditambah kacang tolo atau potongan kelapa muda.

Makanan ini mirip lontong. Hanya bedanya, ujung dan pangkal lepet diikat dengan tali bamboo (kecil). Tengah juga diikat. Mirip seperti mengikat orang yang sudah meninggal.

Makanan ini membawa pesan moral bahwa semua kita pasti akan ; mati

Rabu, 15 Oktober 2008

Hikmah (setelah) Ramadhan

Hikmah (setelah) Ramadhan

Wisudawan wisudawati Ramadhan yang dimuliakan Allah..

Setelah kita lalui ujian selama sebulan penuh, akhirnya dapat juga kita raih sebuah gelar baru yakni sarjana Ramadhan. Semoga predikat muttaqin tetap tersemat di pundak kita. Sehingga sebelas bulan ke depan kita tetap dapat menjaga sikap kepribadian kita seperti pelajaran yang kita dapatkan selama bulan Ramadhan.

Dengan semangat Idul Fitri 1429 H, dan mumpung masih di bulan Syawal saya ucapkan ja’alanallahu waiyyakum minal aidin wal faizin, wa antum kullu aamin bikhoirin. Taqabbalallahu minna wa minkum, amin. Jika ada khilaf & kesalahan saya kepada para pembaca semua, saya tidak segan untuk meminta maaf kepada pembaca semua.

Banyak pelajaran penting kita dapatkan selama bulan Ramadhan. Hingga saking banyaknya, saya tidak mampu untuk menuliskannya di blog saya ini. Tapi insya Allah sudah terekam di memori saya dan orang-orang yang sempat mendengar kultum-kultum singkat saya di berbagai kesempatan.

Itu semua merupakan hasil renungan dan kilas balik ilmu yang saya dapatkan dan pernah saya pelajari. Pada kesempatan Ramadhan lalu, alhamdulillah saya mau mencoba dan sengaja memaksakan diri untuk berbagi ilmu dengan jamaah sholat tarawih di tempat tinggal saya. Karena tuntutan itulah akhirnya saya dipaksa untuk membaca dan kulakan ilmu dari berbagai macam kesempatan, sekaligus me-muthola’ah (membaca ulang) atas ilmu-ilmu yang pernah saya kaji. (karena Ramadhan-ramadhan tahun sebelumnya saya tidak pernah mau memanfaatkan kesempatan seperti itu)

Hikmahnya cukup saya rasakan. Terutama dapat membangkitkan saya untuk terus mengasah kemampuan retorika saya dalam berdakwah menyampaikan syariat Islam. Puncaknya, saya rasakan saat Idul Fitri tiba. Kesempatan menjadi khotib kali kedua di Masjid Al Husna kampung saya, menjadi titik ukur sejauhmana saya bisa merasakan perubahan atas diri saya, terutama dalam hal ‘berbicara’. Al hamdulillah, isi khutbah saya, menurut banyak orang yang berkomentar langsung kepada saya atau kepada keluarga saya, cukup menyentuh dan sesuai konteknya (Ya Allah, jauhkanlah saya dari sifat sombong dan riya). (tema yang saya bawakan ‘Berbuat Baik Kepada Orang Tua’)

Memang saya melihat sendiri saat khutbah, jamaah yang berada di barisan paling depan, banyak yang sesenggukan dan menyeka air mata serta mengusap ingus. Pertanda dia terharu dan tersentuh dengan isi khutbah saya. Usai khutbah berlangsung, saya didekati banyak jamaah, mulai dari yang meminta copian khutbah, sampai yang membenarkan isi khutbah saya (sambil menangis di hadapan saya). “bener kuwe noor.., nek ora mbok elengke ngono, bocah saiki podo lali lan kurang ajar karo wong tuwo” (betul apa yang kamu sampaikan, noor –panggilan akrab saya di kampung– kalau tidak kamu ingatkan seperti itu, anak-anak sekarang lupa dan kurang ajar sama orang tua).

Saya membayangkan, andai saja khotbah tahun lalu saya sampaikan dengan bahasa jawa, seperti yang saya sampaikan tahun ini, mungkin isinya akan lebih mengena dan lebih diterima oleh semua jamaah solat Id. Tapi karena tahun lalu saya memakai bahasa Indonesia, akhirnya isi khutbah saya belum bisa berkesan seperti khotbah saya tahun ini. Memang awalnya saya mencoba (maaf) ‘sok’ intelek dan menggunakan beberapa istilah yang kurang membumi, namun justru masyarakat kurang respek dan kurang simpatik, meskipun sebagian kalangan orang-orang moderen saat ini, bisa mencerna bahasa dan isi khutbah saya. Tapi diakui oleh para ibu-ibu bahwa banyak istilah dan pola pikir yang belum nyambung dengan pikiran mereka sehingga isi khutbah tidak bisa ditangkap dan dicerna secara utuh dan menyeluruh.

Akhirnya saya sadar dan ingat atas sabda Rasulullah yang artinya ‘berbicaralah dengan orang lain sesuai kemampuan akal mereka’. Karenanya kita harus melihat kepada calon audiens sebelum kita bicara, kita pelajari dulu siapa pendengarnya. Lalu kita harus menyesuaikan bahasa kita dengan bahasa mereka agar bisa dicerna. Apalah artinya kita bicara muluk-muluk tapi orang lain tidak tahu. Apalagi sampai mau merubah diri. Padahal tujuan berdakwah kita, tujuan kita menyampaikan agama adalah merubah perilaku dari yang salah menuju yang benar, dari yang bathil menuju yang haq, dari yang bengkok menuju yang lurus.

Kamis, 11 September 2008

Pengamen VS Peminta Sumbangan

Pengamen Cilik VS Peminta Sumbangan

Kangen sekali rasanya saya menikmati suasana bus kota di Jakarta. Karenanya, hari itu saya berniat mengandangkan kuda besi tua saya sejenak dan memberinya cuti. Maklum umurnya sudah tua (seumur anak kelas 3 SMP). Sekaligus saya ingin mengenang enam tahun silam saat saya berebut kursi, berdesak bersikutan, bergelantungan dan menghirup ‘aroma parfum’ di bus kota yang serbaneka. Serta kangen rasanya mendengarkan ocehan, lantunan dan syair lagu serta puisi anak jalanan yang lalu lalang serta naik turun silih berganti di bus kota.

Hari itu, saya berangkat pukul 05.50. Waktu yang sangat pagi dan amat jarang saya jalani sebelumnya. Paling-paling dua atau tiga kali setahun. Saat ada acara mendesak. Sembari berniat mengejar waktu agar bisa sampai kantor jam 7.00. Atau paling lambat 7.30. Karena saya sudah komitmen dengan teman-teman kantor bahwa bulan Ramadhan ini jam kantor berubah menjadi 07.30 s.d 16.30 / 07.00 s.d. 16.00 wib.


Tak lama kemudian, datang bus Damri P21 Ciputat - Blok M. Awalnya ragu untuk naik. Tapi akhirnya kuputuskan untuk naik daripada nunggu Patas 57 Ciputat – Gajah Mada yang belum tentu setengah jam lagi muncul. Bus yang mirip onggokan besi tua ini ternyata masih menjadi pilihan favorit penumpang dari Ciputat. Terbukti begitu bergerak dari arah Pasar Ciputat yang sekarang sudah ‘bersolek’ (karena fly over-nya sudah mulai digunakan) bus Damri ini sudah penuh penumpang. Banyak yang sudah berdiri bergelantungan. Sampai bus-nya miring ke kiri. Ya, tak apalah. Kalau yang lain saja pada mau naik, kenapa saya tidak. Toh mereka dan saya juga sama-sama punya niat agar tidak telat masuk kantor. Apalagi begitu sampai di Blok M langsung dijemput Bus Way, hmm..sepertinya suasana di dalam Damri ini hilang oleh suasa penumpang Bus Way yang bening dan kelimis-kelimis...(bukan kelihatan miskin, lho....)

Bus berjalan melenggok. Sesekali bunyi kriet...kriet...terdengar dari kopling yang dipaksakan pak sopir. Memasuki titik-titik kemacetan, knalpot bus mulai memuntahkan asapnya yang hitam pekat. Di dalam bus, saya teringat saat naik motor tepat berada di belakang cerobong knalpot bis ini. Saya sering mengumpat karena aroma knalpotnya yang hitam pekat selalu menelusup ruang kosong badan saya sampai baju yang paling dalam. Tak pelak meskipun pakai jaket tebal, tetapi tetap saja begitu sampai kantor, jaket dibuka, wush....aroma knalpot yang tersimpan di lekukan baju dan badan saya langsung menyembul keluar. Ughh..! nikmat....

Dititik-titik kemacetan seperti inilah tempat para pengamen cilik dan peminta sumbangan melalukan aksinya. Termasuk para peminta-minta. Saya melilhat dari arah belakang, naik pengamen sekitar umur 8 tahun. Mungkin karena badannya kecil, sehingga tidak terlihat oleh teman seprofesinya di luar. Kemudian dari pintu depan naik juga peminta sumbangan yang membawa kotak amal. Sebelum naik dia sudah melihat ke dalam bus sambil mengamati apakah ada teman seprofesinya ataukah tidak. Dia tidak tahu kalau dari belakang sudah ada teman seprofesinya yang sudah naik duluan.

Mulailah si pengemen ini menyapa penumpang dengan salam pembuka. Sementara peminta sumbangan yang berdiri di bagian depan, kaget dan terbelalak ketika mendengar salam pembuka dari pengamen yang cukup melengking dari arah tengah bus. Sorot mata peminta sumbangan menatap tajam si anak. Sepertinya memberi isyarat agar lagunya dipercepat sehingga dia juga mendapat giliran menyalami penumpang. Tetapi karena pandangan si anak tertuju ke luar bus menjadikan dia tidak tahu bahwa di bagian depan ada sorot mata tajam yang sepertinya meminta untuk mempercepat aksinya.

Lagu pertama cukup enak dinikmati. Diiringi kecrek tutup botol ditangannya menambah sedikit berbeda daripada hanya vokal saja. Saya sendiri yang berdiri tepat di hadapan si anak merasa senang mendengar lagu yang dinyanyikan itu. Suaranya merdu dan liriknya juga hafal. Dalam benak saya berfikir, wah...jangan-jangan si anak ini terobsesi oleh Aries pemenang Indonesian Idol 2008. Kepiawaian Aries mampu menyihir Titi DJ saat audisi pertama melalui lagu yang dibawakan Aries (saya lupa judul dan penyanyi aslinya. Karena meskipun saya suka lagu tapi tidak minat untuk menghafal siapa penyanyi dan judulnya, pokoknya reff-nya begini...dapatkah aku memeluknya, jadikan bintang di surga...). Lima kali menjadi juri di Indonesian Idol, Areis-lah satu-satunya orang yang mampu membuat Titi DJ merinding dan menangis saat menyeleksi para audisi. Dan akhirnya melalui lagu yang dibawakan itu, Aries, sang pengamen jalalan, menjadi pemenang Indonesia Idol 2008. Dalam benak saya, mungkin si anak ini punya obsesi seperti Aries. Menjadi orang hebat yang dirintis dari jalanan. Sehingga ia memilih lagu itu sebagai lagu pilihan utama ketika berada di dalam bus kota.

Lagu pertama selesai saya sudah siap-siap dengan recehan yang tersedia di kantong tas saya. Ternyata, pengamen ini meneruskan lagu keduanya. Sambil kembali menyapa penumpang dia membawakan lagu keduanya dengan lirik yang juga terkenal. (tapi lagi-lagi saya tidak tahu penyanyi dan judulnya. Yang pasti saya suka lagu itu). Saat pengamen ini menoleh ke arah depan dia baru sadar kalau di depan ada dua mata yang menyorot tajam ke arahnya. Tapi dia malah cuek. Sementara si peminta sumbangan justru semakin geram dengan lagu kedua yang dibawakan si anak ini. Seakan-akan peminta sumbangan ini mau berbuat sesuatu untuk segera menyudahi nyanyian si anak. Saya mengamati gerak geriknya dengan serius. Secara bahasa tubuh, jelas-jelas ia ingin bertindak secara fisik. Karena dari tadi saya amati kotak amal yang ada ditangannya mulai dipukul-pukulkan ke arah paha dia. Wajahnya juga tegang memerah. Dan dia tidak mau turun dari bus meskipun di dalamnya sudah ada teman seprofesinya. Padahal lazimnya, jika di dalam bus sudah ada teman seprofesinya, biasanya salah satunya mengalah dan turun mencari bus lain yang tidak ada temannya.
Sementara pengamen cilik tadi menikmati lagu yang dia nyanyikan sendiri. Sepertinya, meskipun secara fisik anak ini jauh lebih kecil dibandingkan peminta sumbangan tadi, tapi mental jalanannya tak mau kalah. Semakin dia diplototi oleh peminta sumbangan justru membuat keberanian dia semakin kuat. Si anak melanjutkan lagu ketiganya. Saya sendiri juga terhenyak. Lho! Berani amat ini anak.

Begitu si peminta sumbangan mendengar si anak melanjutkan aksinya, tak lama kemudian dia mulai beringsut ke tengah. Prediksi saya mulai terbukti. Kalau pun dia mau turun, kenapa tidak melalui pintu depan saja. Toh lebih dekat. Kenapa ia memilih lewat belakang. Wah, pasti ada yang tidak beres ini, begitu gerutu saya..
Setelah dia berhasil melewati penumpang berdiri yang berjejal-jejal, akhirnya sampailah ia dekat dengan si anak. Sedangkan si anak tampak cuek tak menghiraukannya. Tiba-tiba tanpa sepatah katapun kotak amal yang dipegang tadi melayang ke arah tubuh si anak. Prak..!!..

Ha...!! saya tercengang. Si anak tak mengaduh. Dia hanya membalas dengan ejekan. Wue..!! (sambil menjulurkan lidahnya) Si pembawa kotak amal membalas lagi dengan mengacungkan kotak amalnya, tapi kali kedua ini tidak sampai dipukulkan si anak. Lagu ketiga yang dinyanyikan sempat terhenti. Para penumpangpun tak ada yang berbuat banyak atas kejadian itu. Pukulan ini justru membuat iba penumpang, di samping suaranya memang layak untuk diberi apresiasi. Akhirnya, begitu selesai lagu ketiga, mulailah senjata bungkus permen dikeluarkan. Dia menyusur dari satu kursi ke kursi lain. Begitu sampai di depan saya, saya melihat uang ribuan cukup memenuhi kantong senjatanya. Meskipun saya sendiri tidak memasukan yang ribuan, tapi minimal cukuplah kalau untuk beli satu buah gorengan.

Ternyata bus kota yang selama ini saya tinggalkan masih menyimpan banyak pelajaran hidup bagi saya dan mungkin penumpang lain di bus kota. Termasuk pelajaran yang saya dapatkan dari kedua ’pencari rizki’ di jalanan tadi. Bahwa berebut lahan rizki untuk mencari sesuap nasi terjadi di semua tempat. Saling sikut, saling tendang kalau perlu saling bunuh, terkadang menjadi pilihan bagi mereka yang tidak menyadari hakikat kehidupan dan cara mencari rizki yang baik dan halal di mata Allah.

Senin, 01 September 2008

Ramadhan

Ramadhan
Semoga Tidak Hanya Berulang dan Berulang


Aku bersimpuh memohon kepada-Mu, Ya Rabb
Agar Kesempatan Emas yang menghampiri hamba ini
Tidak lewat begitu saja

Aku berjanji kepada diriku, Ya Allah
Akan memaknai Bulan Penuh Makna ini
Dengan amalan lebih baik dari Ramadhan sebelumnya

Aku berlindung diri, ya Ghaffar
Dari gelimang dosa yang menjauhkan rahmat-Mu
Dari bujuk rayu nafsu pemuas duniawi

Ya, Qahhaar...
Kuatkan jiwa raga ini menggapai janji baik-Mu
Kokohkan diri ini menghalau ranjau nikmat-Mu

Agar si Dia tidak hanya melewati saya
Tanpa mampu mengisi perbuatan nyata
Yang bisa meningkatkan derajat di hadapan-Nya

Minggu, 31 Agustus 2008

Launching buku Zakat


Launching Buku Baru

“Bersama ini kami perkenalkan buku baru yang diterbitkan atas kerjasama Forum Zakat, Dompet Dhuafa dan Pemkot Padang, yaitu buku ‘Southeast Asia Zakat Movement’,” ujar Arifin Purwakananta saat launching di auditorium FH Universitas Indonesia, Depok 27 Agustus 2008. Ungkapan itu langsung disambut tepuk tangan meriah hadirin yang mengikuti acara seminar nasional zakat dan launching buku.
Selanjutnya buku tersebut diserahkan secara resmi kepada Wakil Dekan FH UI dan disaksikan oleh seluruh peserta seminar pada saat itu.
Arifin selaku editor (bersama Noor Aflah) mengatakan buku ini merupakan kumpulan makalah para pembicara yang hadir pada saat acara Konferensi Zakat Asia Tenggara di Padang Nopember 2007 lalu.
Dengan membaca buku ini kita dapat melihat bagaimana awal mula terbentuknya wadah komunitas zakat asia tenggara ini terbentuk.

Selasa, 26 Agustus 2008


Telah Terbit
Buku Ke-2 Noor Aflah

Berkat pertolongan dan karunia-Nya, buku kedua saya akhirnya bisa terbit. Setelah melalui proses penantian yang panjang, buku (yang merupakan kompilasi makalah) Konferensi Zakat Asia Tenggara di Padang ini akhirnya dapat saya selesaikan. Semua itu tidak lepas dari bantuan berbagai macam pihak.

Oleh karenanya sudah sepatutnya kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung selama proses penerbitan buku ini.

Buku ini sangat penting untuk dimiliki. Terutama bagi teman-teman yang konsent di bidang zakat. Bagi masyarakat umum yang ingin mengetahui pengelolaan zakat, baik di Indonesia maupun di negara surumpun kami anjurkan untuk membaca buku ini.

Melalui buku ini insya Allah banyak manfaat yang bisa dipetik oleh pembaca. Sekaligus memberi semangat pembaca dan masyarakat umum untuk mengelola zakat agar lebih serius dan giat lagi.

Untuk sementara, buku ini dapat diperoleh di Forum Zakat dan jaringan lembaga zakat. Insya Allah dalam waktu tidak begitu lama, buku ini juga dipasarkan secara umum di toko-toko buku ternama di sekitar Anda.
Buku ini juga dilaunching pada Rabu 27 Agustus 2008 di Auditorium FH UI Depok.

Buku pertama saya ’Zakat & Peran Negara’ juga dapat dibeli di Forum Zakat dan toko-toko buku terdekat.


tlp. 021-3148444

Kamis, 21 Agustus 2008

Krisis Kepemimpinan

Krisis Kepemimpinan

Hidup adalah perbuatan....
Indonesia pernah menjadi macan Asia...

Dan...
Masih banyak lagi jargon politik dan sesumbar anak bangsa yang kini akrab menghiasi layar kaca televisi kita. Masing-masing kita pasti berbeda dalam menyikapi tayangan yang berbau kampanye itu. Ada yang terpesona, terpedaya, tertarik, manggut-manggut terbujuk, padahal pada gilirannya nanti dia akan tertipu...
Saya sendiri makin lama makin muak melihat tayangan-tayangan seperti itu. Apalagi akhir-akhir ini semakin tambah wajah-wajah baru yang nongol di televisi sambil berbicara bagai seorang pahlawan yang ingin menyelamatkan bangsa ini.

Padahal masyarakat kita sudah banyak yang tahu siapa sebenarnya dia. Seperti apa track record-nya. Tapi mereka tetap saja tidak merasa malu mengajukan diri sebagai calon pemimpin bangsa ini.

Kondisi seperti ini jelas menunjukkan bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis kepemimpinan. Empat kali ganti presiden ternyata belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Sepuluh tahun masa reformasi, masih saja tidak bisa membawa perubahan yang signifikan. Karenanya, pelaksanaan pemilu 2009, dianggap oleh mereka yang punya ambisi menjadi pemimpin, sebagai moment paling tepat untuk berperan sebagai ’satrio piningit’ penyelamat bangsa ini. Padahal, sudah banyak fakta menunjukkan bahwa masyarakat kita belum menemukan sosok pemimpin yang ideal yang mampu memimpin negeri ini. Terbutki dalam kurun waktu 10 tahun dan sudah dijalani empat presiden tetap saja negeri ini carut marut. Begitu juga dengan pelaksanaan pilkada di berbagai daerah ternyata masih dominan untuk tidak memilih alias golput.

Dalam konsep kepemimpinan, seorang pemimpin harus mempunyai prilaku yang mampu memotivasi orang lain (dengan cara apa saja) untuk tujuan tertentu, dan motivasi itu harus dapat merangsang dan menjadi pendorong kreatif untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dan dirumuskan dengan baik. Seorang pemimpin harus mampu memobilisir orang sekaligus mampu bekerja.

Seperti kepemimpinan yang dijalankan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. Beliau pemimpin yang patut dijadikan suri tauladan bagi siapapun. Bagi pemimpin negara, pemimpin perang maupun pemimpin rumah tangga. Nabi bukan hanya memimpin tapi juga bekerja. Beliau juga sebagai da’i, mengajak dan menggerakkan masyarakat, memimpin dan membuat perencanaan strategis untuk membangun masyarakat madani, institusi negara, mengelola, memelihara serta mengembangkannya. Walaupun semua gerak langkah dan aktifitas Nabi diilhami oleh kalimat suci “wa maa yanthiqu ‘anil hawa In huwa illa wahyu yuha (QS 53 An-Najm:3), tapi jelas-jelas kepribadiannya komplit menjadi seorang pemimpin. Nabi disebut sebagai workleader (pemimpin-kerja), sebuah istilah yang menggabungkan pekerjaan dan kepemimpinan sedemikian rupa sehingga mencerminkan hakikat yang sesungguhnya dari kepemimpinan yang efektif.

Pola kepemimpinan Nabi sangat konsisten dalam perilaku pemimpin-kerja, yaitu beliau sangat arif dan mengetahui bagaimana “mengatakan hal yang tepat” kepada orang yang tepat pada saat yang tepat, yang bisa diselesaikan dengan baik, tepat waktu dan sesuai dengan anggaran dana yang tersedia. Beliau juga mengungkapkan diri mereka melalui tindakan mereka (lisanu al-hal) dan dengan bahasa yang dipahami oleh siapa yang diajak berinteraksi dengan mereka (bi lisani qaumihi, wa bi qadri ‘uquulihim). Nabi menguasai seni percakapan dengan tindakan dan ucapan / workleading (bekerja sekaligus memimpin) yaitu ilmu seni kepemimpinan, yang meretas mitos bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan dijadikan, tetapi kenyataan membuktikan bahwa setiap orang bisa belajar menjadi pemimpin-kerja.

Itulah sosok pemimpin yang sempurna dan ideal. Andai saja saat ini ada sosok anak bangsa yang meskipun belum sepenuhnya kriterianya sama seperti kriteria kepemimpinan yang dimiliki Nabi, namun hampir mendekati kriteria seperti itu, mungkin warga negara ini akan memilih dia sebagai pemimpin meskipun tanpa promosi di televisi.



Selasa, 12 Agustus 2008

Luar Biasa

Luar Biasa…

Pertemuan kita kali ini adalah pertemuan yang sangat luar biasa.…..
Itu semua karena nikmat Allah yang sangat luar biasa...
Sehingga pada hari ini kita bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang luar biasa....
Apalagi kita lihat tanyangan-tanyangan di televisi yang luar biasa....
Atas kejadian-kejadian di sekitar kita yang sangat luar biasa....

Dan masih banyak luar biasa-luar biasa lainnya yang disampaikan oleh petugas kultum di sebuah musholla perkantoran di Jakarta saat itu. Anehnya, karena kebetulan saya termasuk jamaah aktif di musholla itu, bukan hanya satu atau dua orang petugas kultum yang sepertinya senang memakai kata-kata luar biasa itu, tapi sudah lebih dari tiga petugas kultum yang fasih melafalkan luar biasa dalam setiap menggambarkan situasi-situasi dalam ceramahnya....
Bisa jadi di luar forum pengajian singkat itu banyak sekali para pembicara yang senang menggunakan kata luar biasa.
Inilah yang membuat saya bingung sendiri menerjemahkan arti kata luar biasa yang disampaikan oleh petugas kultum tersebut.
Kemudian saya berfikir, sebegitu sulitkah seseorang menggambarkan situasi atau keadaan tertentu sehingga ia tidak bisa lagi memilih kata atau istilah yang tepat untuk menggambarkan konteks situasi yang sedang ia bicarakan...
Padahal...
Kalau mereka mau saja memilih satu kata sifat yang tepat, saya yakin gambaran ’luar biasa’ yang ia maksudkan dalam pembicarannyan itu, akan dengan mudah dimengerti oleh orang yang mendengarkannya...
Dengan memilih kata yang tepat maka orang lain yang mendengarkan pembicaraan itu akan bisa menangkap pesan yang disampaikan oleh penceramah dan pembicara. Bukan malah sebaliknya, jadi tambah bingung.
Misal saja, luar biasanya nikmat Allah digambarkan dengan kata-kata ’agung’, ’tidak ada tandingannya’, ’tidak bisa dihitung’ dan masih banyak lagi....
Atau kejadian-kejadian di sekitar kita digambarkan dengan ’mengelus dada’, ’mencengangkan’, ’mengerikan’ dan sebagainya...
Kalau kata-kata luar biasa disifati dengan kata-kata yang jelas kan indah...
Orang lain yang mendengar juga jadi mengerti tentang isi pembicaraannya...
Begitu mas..dan mbakyu-mbakyu..

Senin, 30 Juni 2008

HP Menjengkelkan

HP (nan) Menjengkelkan


Andai aku tidak hidup di zaman sekarang ini, mungkin aku tidak ikut jengkel dengan perkakas yang satu ini. Bentuknya tidak seberapa. Digenggam saja terkadang tidak kentara. Memang boleh dibilang manfaatnya luar biasa. Tapi giliran perkakas ini digunakan di saat yang tidak tepat, membuat orang yang berada di sekelilingnya menjadi sewot mendengarnya. Apa gerangan perkakas tersebut ? Hand Phone !! Alias HaPe.
Sebagian orang mendewakan HP. Mereka bilang tidak bisa hidup tanpa HP. Sebagian lainnya mengatakan HP sudah menjadi ukuran gaya hidup seseorang. Semakin mahal dan semakin modern HP yang dipakai, semakin aneh-aneh fitur yang dimuat di HP, berarti semakin tinggi derajat orang tersebut. Ah, terlalu naif menurutku jika sampai ada yang ’memperlakukan’ HP sampai seburuk itu.
Pasalnya, berkali-kali saya dan mungkin orang lain juga dibuat jengkel oleh pemakai HP yang tidak tahu diri. Lihat saja imam sholat. Pak Imam shalat sekarang mendapat tugas baru mengingatkan jama’ahnya mematikan HP saat solat akan dimulai. Karuan saja semakin repot. Alih-alih mengingatkan supaya HP dimatikan, perintah lurus dan merapatkan shaf saja sepertinya tidak digubris. Akibatnya apa, saat sholat berlangsung, bunyi tat..tit..tut.., nada dering yang norak-norak tetap saja ramai bersahut-sahutan. Huh..! dasar tidak tahu diri. Kapan kita punya waktu khusuk menghadap Ilahi kalau saat salat diganggu dengan suara HP. Padahal peringatannya sudah ditempel mulai dari masuk ruang solat, ditempel ditembok atau kaca pintu masuk masjid ataupun musholla. Tapi tetap saja tak dihiraukan.
Itulah jengkel saya yang pertama. Yang tidak bisa saya terima meskipun dibantah dengan segudang alasan apapun. Sebab, apa susahnya kalau mematikan atau tidak membawa HP saat masuk ruang solat. Seberapa penting waktu yang cuma 5 sampai 10 menit tanpa memegang dengan HP. Mustahil kalau bilang tidak bisa!
Jengkel saya yang kedua terjadi saat mengikuti acara formal seperti seminar atau diskusi. Beberapa kali saya temui narasumber yang tidak sopan dengan audien. Misalnya saat dia memberikan presentasi tiba-tiba dihentikan oleh si kotak kecil hitam (atau apalah warnanya) di hadapannya berbunyi tat..tit..tut..Betapa semakin jengkelnya saya ketika dia justru menjawab panggilan itu. Lebih menyakitkannya lagi jawabannya panjang dan disertai heha hehe…ketawa-ketiwi..Lebih sontoloyonya lagi, dia bangga dan memberi tahu kepada audien bahwa yang telpon tadi pejabat atau orang hebat. Huh..emang guwe pikirin..!! mau presiden sekalian kek tetap saja kamu norak. Begitu jawabku dalam hati sambil dongkol. Sementara orang-orang di sampingku saling memandang. Ada yang menggeleng-gelengkan kepala. Tanda senang..?!! Saya yakin pasti mereka juga muak.
Jengkel saya berikutnya ketika melihat pemakai jalan menempelkan HP di kupingnya sambil ngomong sendiri. Tidak peduli yang jalan kaki menyebrang, mengendarai sepeda motor sampai yang jalan kaki di pedestrian, kalau yang pakai mobil tingkat jengkelnya dibawahnya sedikit. Semuanya pernah saya jumpai dan membuat saya gedeg.
Sudah tahu kalau sedang nyebrang jalan kok perhatiannya kepada pembicaraan di HP. Apa dia punya nyawa sepuluh..?! Ditabrak mati satu, lalu yang lain menggantikan..?! Begitu juga yang jalan kali di pedestrian. Saya pernah ditabrak dan diinjak kaki saya sama orang yang sedang main game di HP. Dua tangan pegang HP sambil pecengas pecengis tiba-tiba bruk nabrak saya. Gimana tidak mau marah. Begitu juga dengan pengendara sepeda motor. Mereka lebih edan lagi. Sudah puter balik tidak nyalain lampu sen, tangannya sambil pegang HP. Dibilangin malah balik memarahi saya. Oalah...bocah gembluuuungg....
Huh..!! memang zaman modern benar-benar menguji kesabaran hati kita. Mau tidak mau kita dipaksa orang lain untuk memahami keinginan mereka. Padahal sebenarnya ukuran kewajarannya sudah tidak pantas lagi diberi toleransi. Seperti perasaan jengkel saya ketika menemui pemakai HP yang tidak pada tempatnya tadi. Saya merasa jengkel seperti itu ’halal’ hukumnya. Alias sah-sah saja.
Sebab, apa susahnya barang sejenak memisahkan diri dari belenggu HP. Toh tidak akan menganggu aktifitas kita. Bahkan justru memberi sikap elegan kepada kita yang tampil apa adanya.

Senin, 23 Juni 2008


Kepada Siapapun dan Dimanapun
Jangan Belenggu Tanganmu untuk Bersedekah

Angka kemiskinan di Indonesia terus meningkat. Apalagi pasca kenaikan harga BBM. Diperkirakan orang miskin di Indonesia mencapai lebih dari 41 juta orang. Kondisi seperti inilah yang kemudian memaksa orang miskin untuk mencari sesuap nasi dengan berbagai macam cara. Termasuk dengan meminta-minta di perempatan jalan.
Jika sepuluh tahun lalu peminta-minta di perempatan jalan atau di lampu pengatur arus lalu lintas (traffic light) hanya kita temui di kota-kota besar seperti Surabaya atau Jakarta, namun pemandangan serupa kini telah menghiasai hampir seluruh penjuru kota-kota kecil di berbagai daerah. Kondisi ekonomi bangsa yang masih terpuruk hingga kini merupakan penyebab utama orang-orang miskin ini untuk mengais rizki di perempatan jalan.
Dengan wajah welas asih, berpakaian lusuh, mereka berharap uluran tangan pemakai jalan. Dari anak kecil yang melantunkan lagu-lagu yang mungkin dia sendiri tidak tahu artinya, seorang ibu-ibu sambil menggendong bayi hingga seorang yang –maaf– tidak sempurna fisiknya semuanya berlomba mencari simpati dan belas kasihan dari para pengguna jalan. Begitu banyak cara yang mereka lakukan untuk mengetuk pintu hati para pengguna jalan agar mereka mendapatkan sedikit uang.
Memang bagi sebagian orang, keadaan seperti itu bisa menggangu pemakai jalan. Namun itu semua tak pernah dihiraukan oleh para peminta-minta. Mungkin dalam benaknya mengatakan apa yang dia lakukan halal hukumnya. Bisa jadi istilah daripada mencuri atau mencopet lebih baik meminta-minta menjadi pedoman bagi mereka.
Bagaimana sikap kita sebagai pengguna jalan melihat fenomena di depan mata seperti itu ? Mengulurkan tangan, memberi bantuan dan bersedekah bagi para peminta-minta adalah satu perbuatan yang didorong oleh nurani. Di samping juga anjuran agama.
Islam mengajarkan kita untuk memperbanyak sedekah. Kepada siapapun dan dimanapun. Tak terkecuali di perempatan-perempatan jalan. Tujuannya agar rezeki yang diberikan Allah menjadi barakah. Rasulullah SAW bersabda, ''Belilah semua kesulitanmu dengan sedekah. ''Dalam hadis lain, Rasulullah SAW menjelaskan, ''Setiap awal pagi, semasa terbit matahari, ada dua malaikat menyeru kepada manusia di bumi. Yang satu menyeru, 'Ya Tuhanku, karuniakanlah pengganti kepada orang yang membelanjakan hartanya kerena Allah'. Yang satu lagi menyeru, 'Musnahkanlah orang yang menahan hartanya'.''
Sedekah walaupun kecil tetapi amat berharga di sisi Allah SWT. Orang yang bakhil dan kikir dengan tidak menyedekahkan sebagian hartanya akan merugi di dunia dan akhirat karena tidak ada keberkahan. Jadi, sejatinya orang yang bersedekah adalah untuk kepentingan dirinya. Sebab, menginfakkan harta akan memperoleh berkah, dan sebaliknya menahannya adalah celaka.

Fenomena Peminta-minta di Jalanan
Kalau mau jujur, tak satupun orang di dunia ini punya cita-cita menjadi peminta-minta. Ingat waktu masih kecil, betapa besarnya harapan anak-anak agar kelak menjadi orang berguna. Ada yang ingin menjadi presiden, dokter, profesor dan lain sebagainya. Hampir semua anak bercita-cita luhur seperti itu. Tak terkecuali mereka anak-anak kecil yang sekarang ini (terpaksa) menjadi peminta-minta di jalanan. Bagi mereka yang telanjur nyemplung jadi peminta-minta di jalanan pasti tak akan mau bilang kalau cita-citanya menjadi peminta-minta.
Dengan demikian menjadi peminta-minta adalah suatu keadaan terpaksa. Orang yang terpaksa berarti hidupnya dihimpit penderitaaan. Islam mendorong umatnya agar membantu mereka yang menderita. Oleh karena itu harus kita tolong dan kita bantu. Karena faktanya, hampir sebagian besar peminta-minta di jalanan adalah orang-orang yang sedang menghadapi penderitaan hidup.
Memberi sedekah adalah sebagai wujud rasa syukur atas rezeki yang diberikan Allah SWT kepada kita. Memberi sedekah kepada siapapun adalah wujud rasa cinta kepada sesama. Bisa jadi kita memilah-milah kondisi peminta-minta. Kalau orangnya masih sehat dan secara fisik bisa bekerja, mungkin hati kita berontak sambil berkata ’bukankah dia bisa mencari pekerjaan yang layak?’. Namun bukankah ajaran sedekah yang dianjurkan Nabi tidak memandang siapa dan kondisinya seperti apa orang yang kita beri sedekah ?
Oleh karenanya, kalau sudah niat memberi, jangan ragu untuk memberi. Relakan harta yang kita berikan untuk mereka nikmati. Hilangkan syak wasangka buruk terhadap sikap dan prilaku yang ditunjukkan para pengais rizki di jalanan atau dimanapun peminta-minta itu berada. Jauhkan pikiran kita dari prasangka buruk akan penggunaan uang yang kita berikan itu. Sebaiknya, berdoalah agar harta yang kita berikan menjadi amal jariyah kita.
Mengatasi maraknya peminta-minta di jalanan bagaikan mengurai benang kusut yang tak kunjung selesai. Selama republik ini menggalakkan program pengentasan rakyat miskin, namun selama itu pula fenomena peminta-minta di jalanan tetap saja menjamur.
Larangan mengemis atau meminta-minta sebagaimana yang ditegaskan di KUHP pasal 504 pasal 01 dan 02 tak ubahnya sebuah larangan yang mandul. Pemerintah sendiri gagal mencarikan jalan keluar untuk mengangkat harkat kehidupan mereka. Tugas negara untuk memelihara fakir miskin dan orang telantar sebagaimana yang diamanahkan UUD 1945 sampai sekarang masih belum terlihat perannya.
Malah justru peran lembaga zakatlah yang kini sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang sedang kesusahan. Lembaga zakat berupaya sedemikian rupa membantu kesulitan masyarakat miskin dengan berbagai programnya. Tak terkecuali program pemberdayaan bagi para orang miskin di jalanan. Hanya saja diakui tidak mudah mengajak peminta-minta itu merubah nasibnya. Apalagi boleh dibilang meminta-minta sudah menjadi ’mata pencaharian’ mereka sehari-hari. Kendati demikian, sekeras apapun hati seseorang pasti ada di antara mereka yang ingin meninggalkan dunia peminta-minta.
Karenanya, jangan belenggu tanganmu untuk tetap mengeluarkan sedekah di manapun berada dan kepada siapapun sedekah itu diberikan. Sementara bagi lembaga zakat agar tetap terus berkreasi menciptakan program inovatif dan strategis bagi pemberdayaan masyarakat miskin yang membutuhkan.

Senin, 16 Juni 2008

Pudarnya Sikap Empati

Cuaca di bandara sangat panas. Terik matahari membuat wajah lelaki itu mengeluarkan keringat. Dua tas menggelayut di tangan kanan dan kirinya. Ia berjalan di belakang istri dan ketiga anaknya. Sang istri menggendong si bungsu sambil menenteng tas di tangannya.
Sebenarnya tak ada yang aneh dalam diri keluarga tersebut. Tapi, ada yang tak biasa di lingkungan kita. Sehingga membuat mereka menjadi pusat perhatian banyak orang di bandara. Apa pasal ? Sang ibu yang menggendong si bungsu dalam kondisi hamil tua. Tak lama lagi waktu persalinan tiba. Sementara ketiga anak lainnya masih sangat belia. Rata-rata jarak umurnya satu tahun di antara mereka.
Masuk ke pesawat tak ada perlakuan khusus dari pramugari. Jangankan menuntun si anak, menyapa santun pun tidak. Apalagi menawarkan kursi kosong di kelas VIP. Yang ada malah sikap sinis melihat sang ibu yang hamil tua dan diikuti ketiga anak kecil dibelakangnya.
Untuk perjalanan satu atau dua jam, mungkin keadaan seperti ini bisa ditolerir tapi bagaimana jika perjalanannya jauh ke luar negeri. Apakah tidak ada pelayanan dan fasilitas khusus bagi penumpang dalam keadaan darurat seperti ini.
Anak adalah amanat dari Allah. Apapun keadaannya seorang ibu akan berusaha untuk tetap menjaganya. Begitu pula dengan bayi yang masih ada dalam kandungan sang ibu. Pasti ia berharap dirinya dan anaknya nanti lahir dengan selamat.
Bagi sang ibu, perlakuan seperti itu tidak membuat dirinya berkecil hati. Ia tetap menunjukkan sikap wajar seperti penumpang lainnya di pesawat. Sementara penumpang lainnya tak bisa berbuat apa-apa. Kecuali menaruh simpati dalam hati dan rasa iba atas sketsa kehidupan di depan mata.
Tiba di bandara London susana menjadi berbeda. Turun dari pesawat, sang ibu yang sedang hamil tua di sambut petugas dengan hangat dan bersahabat. Padahal ia baru pertama kali menginjakkan kaki di negara itu. Petugas memberikan ruang istirahat khusus bagi si ibu. Mereka juga memberikan layanan luar biasa bagi anak-anak kecil yang bersama ibunya. Segala macam mainan anak-anak, mulai dari boneka, mobil-mobilan dan makanan ringan semua diberikan. Rasa peduli dan sikap empati yang bernuansa Islami diperlihatkan petugas layanan umum di negara yang mayoritas penduduknya non muslim.
Keluar dari bandara, mobil ambulans pun telah siap siaga. Mengantar sang ibu menuju tempat tinggalnya. Sampai di tempat tinggal, lagi-lagi ia mendapatkan layanan yang tidak ia duga. Sambutan tetangganya melebihi seorang saudara, padahal ia baru pertama kali mengenalnya. Begitu juga para petugas di lingkungannya (semacam petugas RT / Kelurahan) yang akrab dan bersahabat.
Petugas juga siap membantu si ibu jika sewaktu-waktu persalinan tiba. Dan ternyata, keesokan harinya tanda-tanda persalinan mulai terasa. Petugas mengantarnya ke rumah sakit terdekat. Mereka juga ikut menunggui si ibu selama persalinan berlangsung. Sampai akhirnya tangis bayi pun pecah siang itu. Rasa gembira menyelimuti suasana rumah sakit. Tak ketinggalan para petugas. Mereka juga ikut bersuka cita atas kelahiran sang jabang bayi. Karangan bunga, ucapan selamat dan tali kasih dari petugas diberikan kepada keluarga pendatang baru yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.
Tak ada kesulitan izin tinggal bagi pendatang baru, apalagi kondisinya darurat. Begitu juga tak ada istilah permintaan uang jaminan pembayaran rumah sakit bagi kondisi seperti yang dialami keluarga itu. Semua layanan dipermudah. Bahkan petugasnya terlibat membantu secara langsung.
Betapa indahnya jika cinta kasih itu diberikan di antara kita tanpa melihat siapa mereka dan darimana mereka berasal. Betapa mulianya kehormatan bangsa kita jika masyarakatnya mau melakukan seperti yang dilakukan petugas ; mulai dari bandara London sampai kelurahan di sana.
Lalu bagaimana dengan sikap pramugari serta tidak tersedianya layanan darurat di bandara kita. Di manakah nilai-nilai ketimuran kita yang menjunjung tinggi kekeluargaan. Sudah pudarkah rasa empati di antara kita?

Lebih Baik Telanjur Mengeluarkan Zakat

Lebih Baik Telanjur Mengeluarkan Zakat
daripada Telanjur Memakan Zakat


Beberapa tahun silam, seorang karyawati pegawai negeri golongan dua datang kepada seorang ustadzah. Ia menyampaikan maksud tujuannya untuk mengeluarkan zakat dari gaji yang diterima setiap bulan. Karena dalam keyakinannya dengan mengeluarkan zakat ia dapat menjalani hidup dengan jujur dan hati yang nyaman, tenteram, tanpa penyesalan dan tanpa kegelisahan.
“Apakah gaji wajib dikeluarkan zakatnya?” tanya dia kepada ustadzah itu. “Kenapa?” Jawab ustadzah kembali bertanya. “Apakah Anda akan mengeluarkan zakat atas gaji Anda?”. Dalam hati ustadzah bertanya, berapakah gaji pegawai golongan dua yang hanya tamat sekolah menengah ? Apa gerangan yang menyebabkannya ingin mengeluarkan zakat gajinya yang kecil itu ? Sedangkan, menurut pengakuannya, ia tidak memiliki penghasilan lain.
“Setiap menerima gaji terbanyang oleh saya orang tua saya yang hidup di kampung sebagai petani. Setiap kali panen, beliau selalu mengeluarkan zakatnya. Padahal orang tua saya tidak kaya. Sawahnya hanya beberapa petak saja. Hasilnya tidak cukup untuk dimakan sekeluarga sampai panen berikutnya. Tetapi itu dapat dicukupi dengan hasil palawija yang ditanam di antara musim panen satu dengan musim panen lainnya,” ungkap karyawan itu menceritakan keadaan keluarganya di kampung halaman.
“Berapa gajimu?” sang ustadzah kembali bertanya. “Gaji saya kurang dari lima ratus ribu (waktu itu). Akan tetapi bila gaji saya dibelikan padi, barangkali dalam waktu dua atau tiga bulan gaji telah dapat senishab. Padahal orang tua saya mulai dari turun ke sawah sampai panen, yang memakan waktu enam bulan barulah memperoleh senishab padi itu. Itulah yang menyebabkan saya merasa takut punya hutang jika tidak mengeluarkan zakat atas gaji yang saya terima tiap bulan,” ujarnya.
Ia berpendapat, lebih baik telanjur menunaikan zakat, daripada telanjur memakan zakat. Bila telanjur memakan atau tidak mengeluarkan zakat, bila kelak ternyata tergolong orang yang sudah wajib mengeluarkan zakat, tentu yang tidak dikeluarkan selama ini menjadi hutang. Jika terus menerus tidak dikeluarkan maka jumlahnya akan terus menumpuk.
Bila akhirnya sanggup membayar, tentunya bersyukur. Tapi bila akhirnya tidak sanggup, ia berkeyakinan hutang tersebut akan ditagih Allah SWT di akhirat kelak.
”Kalau begitu, bila mau mengeluarkan zakat gaji, lakukanlah,” jawab ustadzah. ”Tidak perlu menunggu keputusan ulama tentang wajib atau tidaknya. Yang penting hatimu tenang. Dan mudah-mudahan Allah memberikan rezeki lebih banyak lagi,” ujar ustadzah sembari mendoakan karyawati tadi.
Setelah tiga tahun berselang, karyawati itu kembali datang kepada ustadzah. Ia bercerita selama tiga tahun itu kewajiban zakat atas gajinya sudah dikeluarkan secara rutin. Di samping katanya, sisa gajinya ia tabung. Ketika mencapai jumlah tertentu, tabungan itu dibelikan emas murni. Tidak berapa lama kemudian harga emas melonjak tinggi. Hampir dua kali lipat harga semula.
”Jika emas yang saya simpan itu dijual sekarang, harganya cukup untuk biaya naik haji tahun ini,” katanya. ”Jadi kamu mau naik haji?” tanya ustadzah keheranan. ”Ya, bu” jawabnya. ”Sudah lama saya berkeinginan untuk menunaikan rukun Islam kelima itu. Mula-mula saya tidak yakin keinginan itu akan terpenuhi karena gaji saya tergolong kecil. Apalagi tidak ada yang membantu saya. Rupanya Allah mendengar do’a saya dan akhirnya dikabulkan,” ujar dia.
Teman-temannya, orang tuanya dan karib kerabatnya, terheran-heran mendengar ia akan berangkat ke Tanah Suci Makkah. Menunaikan ibadah haji dengan biaya sendiri, tidak ada orang yang menyumbang atau membantunya. Hanya Allah yang memberi jalan yang baik dan halal tanpa diperhitungkan.
Dalam hati ustadzah berkata, benar-benar si karyawati yang berusaha memenuhi kewajibannya kepada Allah, akhirnya diberi karunia tanpa diketahui dan diperhitungkannya, sehingga gajinya yang sedikit itu menjadi berkah. Cukup untuk kehidupan sederhana dan dapat pula disisakan untuk ditabung. Semua itu tentu berkat zakat yang dikeluarkannya.

Jumat, 13 Juni 2008

Selamatan = Sedekah

Selamatan = Sedekah

Suatu hari sahabat Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia. Namun karena ia tidak berada di rumah, maka Saad merasa bersalah dan harus melakukan sesuatu untuk ibunya. Datanglah Saad kepada Nabi Muhammad SAW menanyakan keinginannya untuk melakukan sesuatu untuk ibunya yang sudah meninggal itu. Saad bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasulullah SAW menjawab : “Ya, bisa bermanfaat.” Mendengar jawaban seperti itu lalu Saad berkata, ”Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuk ibuku” (HR Bukhari).
Hadits di atas merupakan salah satu hadits yang dijadikan rujukan bagi orang yang hendak mengadakan selamatan atau mendo’akan bagi keluarganya yang meninggal dunia. Inti acara selamatan adalah sedekah. Memberikan harta benda dan suatu kebaikan kepada orang lain.
Selamatan merupakan istilah yang dipakai orang Jawa –dan sekarang telah menjadi suatu kebiasan orang Jawa– untuk mendoakan jiwa orang yang telah meninggal dunia agar selamat dari api neraka. Sebenarnya kebiasaan ini sudah ada sebelum agama Hindu dan Budha masuk Nusantara, khususnya Jawa. Tentu saja dalam perjalanannya selamatan ini mendapat pengaruh Hindu dan Budha. Yang diganti-ganti itu hanyalah mantra atau doanya. Prinsip selamatan sendiri tetap dan setelah Islam masuk, berbagai tata cara dan mantranya diubah disesuaikan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Manusia tidaklah seperti binatang. Binatang mati tidak membutuhkan upaya penyelamatan atau doa bagi jiwanya, tetapi manusia melalukan upacara terutama ketika akan dimakamkan. Mula-mula amat primitive. Sekedar mengirimkan puja dan mantra. Namun pada tahap berikutnya telah mengarah kepada bentuk yang lebih maju yang mungkin bentuknya hanya seremonial belaka.
Bagi sebagian orang mengatakan bahwa acara penyelamatan atau mengirim doa itu tindakan bid’ah. Karena orang yang demikian ini berpandangan bahwa hanya dirinya sendiri (diri si mayit) yang bisa menyelamatkan. Yaitu dengan cara menjadi manusia yang beriman dan beramal shaleh. Menurut pendapat ini –selain bid’ah– juga melakukan amal yang tidak berguna. Bahkan selamatan dan acara mendo’akan si mayit dipandang sebagai amalan yang membebani keluarga si mayit. Karena itu selamatan dianggap menjerumuskan pelakunya masuk neraka. Berbuat bid’ah dianggap sesat. Dan setiap yang sesat membawa ke neraka.
Memang benar, untuk mencapai kesadaran, memperoleh pencerahan hidup, atau untuk penyempurnaan diri ; semuanya tergantung perjuangannya sendiri. Sama dengan orang yang ingin menjadi orang pintar, tentu dirinya sendiri yang bisa meraihnya. Namun, jangan lupa bahwa guru atau orang lain itu, berfungsi untuk membantu seseorang untuk menemukan jalan hidupnya. Ya, fungsi orang lain adalah membantu ! Bahkan bantuan itu yang seolah-olah mewujudkan tercapainya seserorang pada tujuan hidupnya.
Sama seperti orang yang hendak melahirkan. Secara normal, tanpa bidan atau dukun beranak pun orang bisa melahirkan anaknya, jika sudah pada waktunya. Namun kenyataan saat ini tidak seratus persen berjalan normal, ada orang yang kesulitan melahirkan sampai berhari-hari meraung kesakitan karena tak dapat melahirkan. Akhirnya perlu dibantu dokter dengan bedah sesar. Dus, untuk orang tertentu perlu ditolong.
Apakah di Islam tidak ada upacara penyelamatan jiwa atau mendo’akan kepada orang yang mati itu ? Apakah jiwa orang yang meninggal tidak dapat ditolong oleh orang yang hidup untuk memperoleh keselataman hidupnya di alam akhirat ? Secara eksplisit, secara jelas, ajaran penyelamatan jiwa atau mendo’akan orang yang meninggal memang tidak ada. Namun, secara implisit, secara tersamar, jelas ada. Mengapa tidak diungkapkan secara jelas saja ? Sehingga orang tidak meraba-raba ajaran Islam. Karena basis hidup masyarakat di Jazirah Arab pada mulanya tidak mengenal hidup setelah mati. Masyarakat jahiliyah berpandangan bahwa setelah kematian tidak ada apa-apa.
Akan tetapi kedatangan Islam telah mengajarkan teknis penyelematan. Lho, teknis yang mana ? Oh, ada kok ! Caranya sederhana. Yaitu caranya dengan melakukan shalat jenazah atau shalat ghaib. Cara inilah yang diajarkan Nabi sebagaimana disebutkan di dalam haditsnya.
Dari Auf bin Malik ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah SAW – setelah selesai shalat jenazah-bersabda : ”Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
Dengan cara shalat janazah, masyarakat Arab tidak mengalami kesulitan untuk melaksanakannya. Karena bentuk shalat fardlu lebih sulit dilaksanakan daripada shalat janazah. Memandikan mayit juga termasuk upacara penyucian jiwa si mayit. Dengan dimandikan dan dishalatkan itu, diharapkan jiwa sang mayit mendapat ampunan dan perlindungan Allah. Diharapkan jiwa orang yang meninggal itu bisa kembali kepada Allah. Paling tidak jiwa si mayit tidak mengalami siksaan di alam kubur.

Raih Keseimbangan Dunia-Akhirat dengan Bekerja

Raih Keseimbangan Dunia-Akhirat dengan Bekerja

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang mempunyai berbagai kebutuhan hidup, mulai dari yang primer, sekunder sampai kebutuhan yang mewah. Karena itu manusia termotivasi untuk bekerja.
Dalam kaitan ini, Allah memang telah menjamin rizki setiap makhluknya, yang dalam bahasa Alquran, “makhluk yang melata”. Kata ini secara bahasa berarti makhluk yang bergerak. Dengan demikian makhluk yang bergerak dan aktif dijamin rizkinya oleh Allah.
Mengapa demikian ? Karena aktifitas itulah yang menjadi sumber kehidupan makhluk Allah. Rasulullah telah menggambarkan seeokor burung yang keluar dari sarangnya di pagi hari dalam keadaan lapar, lalu pulang di sore hari dengan perut kenyang. Burung terbang ke sana ke mari adalah bukti ia beraktifitas.
Dengan demikian prinsipnya adalah selama ada usaha, aktifitas dan kreatifitas, niscaya Allah akan mendatangkan rizki kepada hamba-Nya.
Dilihat secara historis, bekerja sebenarnya telah menjadi budaya dasar umat manusia. Semenjak dahulu manusia sudah bekerja. Dalam pentas sejarah nabi-nabi mereka adalah insan-insan yang aktif bekerja.
Islam adalah agama yang sangat menekankan amil. Karena itulah, penilaian terhadap derajat seseorang lebih didasarkan pada amalnya, bukan berdasarkan status sosial atau kekayaannya. Amal seseorang tidak saja menjanjikan kebahagiaan hidupnya di dunia yang sekarang, tapi juga di akhirat kelak.
Firman Allah (yang artinya) “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhkan akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan” (an-Nahl : 97).
Allah, sengaja menciptakan dua tahap kehidupan bagi manusia untuk membuktikan siapakah di antara mereka yang lebih baik amalnya. Firman-Nya (yang artinya) “(Dia) yang menjadikan mati dan hidup supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang baik amalnya” (al Mulk : 2)
Oleh karena itulah manusia disuruh bekerja atau beramal dengan tekun guna mencapai kehidupannya yang berbahagia di dunia dan akhirat. Dalam kaitan ini ada sebuah hadits yang memotifasi kita untuk terus bekerja. “Bekerjalah (beramallah) kamu untuk duniamu seakan kamu hidup abadi, dan bekerjalah (beramallah) untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok”
Hadits ini memberikan arahan perlunya kerja keras untuk memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Di samping itu, juga memberikan isyarat betapa tidak dapat dipisahkan antara amal duniawi dan amal ukhrawi. Baik amal duniawi maupun ukhrawi, keduanya berjalan secara integral yang dipersatukan oleh niat dan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh si pelakunya.
Bila suatu amal diniatkan untuk mengejar kebahagiaan duniawi, maka yang akan diperoleh adalah kebahagiaan duniawi. Tapi bila suatu amal diniatkan untuk mencapai kebahagiaan ukhrawi, maka yang akan diperoleh adalah kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus.
Oleh karena demikian, menyatunya antara aktifitas duniawi dan aktifitas ukhrawi dalam kehidupan seorang yang beriman, maka Islam tidak mengenal adanya dikhotomi antara keduanya.
Agaknya terlalu naif, apabila kita membuat suatu garis pemisah antara aktifitas duniawi dan ukhrawi sebagaimana dipahami oleh sebagian orang. Karena, pandangan dikhotomis ini secara tidak langsung telah mengantarkan seseorang kepada pemahaman sekularistik yang memisahkan atau mengesampingkan agama dari kehidupan duniawi. Persoalan-persoalan kehidupan seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya seakan terlepas dari kendali agama.
Berkaitan dengan orientasi kerja, Islam tidak memberikan penekanan (stressing) kepada salah satunya –dunia maupun akhirat– tapi mengajarkan keseimbangan. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya) “Dan carilah olehmu pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia” (al-Alqashas : 77).
Ayat ini mengajarkan kepada umat Islam agar tidak hanya mementingkan akhirat, sehingga melupakan dunia. Sebaliknya, juga tidak dibenarkan seorang muslim mengerahkan tenaganya demi mencari kenikmatan dunia semata, sehingga melupakan akhiratnya. Tapi mereka dituntut menjaga keseimbangan dan keselarasan antara keduanya.