Jumat, 13 Juni 2008

Raih Keseimbangan Dunia-Akhirat dengan Bekerja

Raih Keseimbangan Dunia-Akhirat dengan Bekerja

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang mempunyai berbagai kebutuhan hidup, mulai dari yang primer, sekunder sampai kebutuhan yang mewah. Karena itu manusia termotivasi untuk bekerja.
Dalam kaitan ini, Allah memang telah menjamin rizki setiap makhluknya, yang dalam bahasa Alquran, “makhluk yang melata”. Kata ini secara bahasa berarti makhluk yang bergerak. Dengan demikian makhluk yang bergerak dan aktif dijamin rizkinya oleh Allah.
Mengapa demikian ? Karena aktifitas itulah yang menjadi sumber kehidupan makhluk Allah. Rasulullah telah menggambarkan seeokor burung yang keluar dari sarangnya di pagi hari dalam keadaan lapar, lalu pulang di sore hari dengan perut kenyang. Burung terbang ke sana ke mari adalah bukti ia beraktifitas.
Dengan demikian prinsipnya adalah selama ada usaha, aktifitas dan kreatifitas, niscaya Allah akan mendatangkan rizki kepada hamba-Nya.
Dilihat secara historis, bekerja sebenarnya telah menjadi budaya dasar umat manusia. Semenjak dahulu manusia sudah bekerja. Dalam pentas sejarah nabi-nabi mereka adalah insan-insan yang aktif bekerja.
Islam adalah agama yang sangat menekankan amil. Karena itulah, penilaian terhadap derajat seseorang lebih didasarkan pada amalnya, bukan berdasarkan status sosial atau kekayaannya. Amal seseorang tidak saja menjanjikan kebahagiaan hidupnya di dunia yang sekarang, tapi juga di akhirat kelak.
Firman Allah (yang artinya) “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhkan akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan” (an-Nahl : 97).
Allah, sengaja menciptakan dua tahap kehidupan bagi manusia untuk membuktikan siapakah di antara mereka yang lebih baik amalnya. Firman-Nya (yang artinya) “(Dia) yang menjadikan mati dan hidup supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang baik amalnya” (al Mulk : 2)
Oleh karena itulah manusia disuruh bekerja atau beramal dengan tekun guna mencapai kehidupannya yang berbahagia di dunia dan akhirat. Dalam kaitan ini ada sebuah hadits yang memotifasi kita untuk terus bekerja. “Bekerjalah (beramallah) kamu untuk duniamu seakan kamu hidup abadi, dan bekerjalah (beramallah) untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok”
Hadits ini memberikan arahan perlunya kerja keras untuk memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Di samping itu, juga memberikan isyarat betapa tidak dapat dipisahkan antara amal duniawi dan amal ukhrawi. Baik amal duniawi maupun ukhrawi, keduanya berjalan secara integral yang dipersatukan oleh niat dan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh si pelakunya.
Bila suatu amal diniatkan untuk mengejar kebahagiaan duniawi, maka yang akan diperoleh adalah kebahagiaan duniawi. Tapi bila suatu amal diniatkan untuk mencapai kebahagiaan ukhrawi, maka yang akan diperoleh adalah kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus.
Oleh karena demikian, menyatunya antara aktifitas duniawi dan aktifitas ukhrawi dalam kehidupan seorang yang beriman, maka Islam tidak mengenal adanya dikhotomi antara keduanya.
Agaknya terlalu naif, apabila kita membuat suatu garis pemisah antara aktifitas duniawi dan ukhrawi sebagaimana dipahami oleh sebagian orang. Karena, pandangan dikhotomis ini secara tidak langsung telah mengantarkan seseorang kepada pemahaman sekularistik yang memisahkan atau mengesampingkan agama dari kehidupan duniawi. Persoalan-persoalan kehidupan seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya seakan terlepas dari kendali agama.
Berkaitan dengan orientasi kerja, Islam tidak memberikan penekanan (stressing) kepada salah satunya –dunia maupun akhirat– tapi mengajarkan keseimbangan. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya) “Dan carilah olehmu pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia” (al-Alqashas : 77).
Ayat ini mengajarkan kepada umat Islam agar tidak hanya mementingkan akhirat, sehingga melupakan dunia. Sebaliknya, juga tidak dibenarkan seorang muslim mengerahkan tenaganya demi mencari kenikmatan dunia semata, sehingga melupakan akhiratnya. Tapi mereka dituntut menjaga keseimbangan dan keselarasan antara keduanya.

Tidak ada komentar: