Selasa, 28 Oktober 2008

Filosofi Lontong, Ketupat dan Lepet

Filosofi Lontong, Ketupat dan Lepet

Tiga macam makanan khas lebaran itu selalu menghiasi meja makan kita setiap Idul Fitri tiba. Mereka yang gak suka makanan itupun terpaksa membuat, karena takut dianggap tidak punya lebaran (karena gak ikut puasa)…

Orang tua kita dulu, tidak asal membuat sesuatu tanpa pesan moral yang terkandung di dalamnya. Apa pesan moral yang terkandung di dalam ketiga makanan tersebut ?

Lontong : (K)lontong-kan hatimu, kosongkan hatimu, gembukkan hatimu. Agar kamu punya sikap peduli dan empati kepada sesama. Salah satu karakteristik lontong adalah lunak / tidak keras. Hati yang gembuk (tidak keras) akan mudah menerima nasehat orang lain. Orang yang hatinya lunak pasti mudah dinasehati, mudah menolong orang lain.

Klontong adalah jembatan kecil. Ia sebagai sarana orang menyebrang dari satu tempat ke tempat lain. Bentuknya bulat dan bolong. Dengan klontong ini, orang akan bisa melangkah dari satu tempat ke tempat lain dengan mudah. Tanpa klontong, orang akan susah payah meloncat untuk menyebrangi jalan.

Sebuah filosofi indah dan menawan dan bisa kita praktekkan di dalam kehidupan kita sehari-hari. ‘Punya hati / jiwa yang lapang’, ‘Suka membantu, menolong dan meringankan beban orang lain’, ‘Mudah dinasehati dan mudah menerima nasehat itu sebagai pengingat diri’

Ketupat : Bahasa Jawa-nya Kupat. Kepanjangan dari nga-KU le-PAT (berani mengakui kesalahan). Tidak ada yang sempurna di dunia ini kecuali Allah dan Rasul. Kita pasti pernah melakukan kesalahan. Namun amat jarang sekali diantara kita yang mau mengakui kesalahan. Baik salah kepada Allah atau salah kepada orang lain.

Orang yang mengakui kesalahan berarti dia orang yang pemaaf. Tanpa diminta maaf oleh orang lain yang berbuat salah kepadanya maka ia akan memaafkan. Suatu saat ketika dia salah, maka langsung mengakui dan meminta maaf.

Zaman sekarang berat sekali mengakui kesalahan diri sendiri. Yang ada hanyalah menutup-nutupi kesalahan kita.

Dengan Kupat berarti kita harus gentle mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada orang yang kita buat kesalahan tadi

Lepet : Makanan ini hanya ada di sekitar Jawa (tengah dan timur). Juga bagian dari makanan khas lebaran. Selain jawa tengah dan timur, mereka tidak membuat makanan ini.

Bahan bakunya ketan. Bungkusnya memakai daun kelapa muda. Kalau yang suka variasi, ya ditambah kacang tolo atau potongan kelapa muda.

Makanan ini mirip lontong. Hanya bedanya, ujung dan pangkal lepet diikat dengan tali bamboo (kecil). Tengah juga diikat. Mirip seperti mengikat orang yang sudah meninggal.

Makanan ini membawa pesan moral bahwa semua kita pasti akan ; mati

Rabu, 15 Oktober 2008

Hikmah (setelah) Ramadhan

Hikmah (setelah) Ramadhan

Wisudawan wisudawati Ramadhan yang dimuliakan Allah..

Setelah kita lalui ujian selama sebulan penuh, akhirnya dapat juga kita raih sebuah gelar baru yakni sarjana Ramadhan. Semoga predikat muttaqin tetap tersemat di pundak kita. Sehingga sebelas bulan ke depan kita tetap dapat menjaga sikap kepribadian kita seperti pelajaran yang kita dapatkan selama bulan Ramadhan.

Dengan semangat Idul Fitri 1429 H, dan mumpung masih di bulan Syawal saya ucapkan ja’alanallahu waiyyakum minal aidin wal faizin, wa antum kullu aamin bikhoirin. Taqabbalallahu minna wa minkum, amin. Jika ada khilaf & kesalahan saya kepada para pembaca semua, saya tidak segan untuk meminta maaf kepada pembaca semua.

Banyak pelajaran penting kita dapatkan selama bulan Ramadhan. Hingga saking banyaknya, saya tidak mampu untuk menuliskannya di blog saya ini. Tapi insya Allah sudah terekam di memori saya dan orang-orang yang sempat mendengar kultum-kultum singkat saya di berbagai kesempatan.

Itu semua merupakan hasil renungan dan kilas balik ilmu yang saya dapatkan dan pernah saya pelajari. Pada kesempatan Ramadhan lalu, alhamdulillah saya mau mencoba dan sengaja memaksakan diri untuk berbagi ilmu dengan jamaah sholat tarawih di tempat tinggal saya. Karena tuntutan itulah akhirnya saya dipaksa untuk membaca dan kulakan ilmu dari berbagai macam kesempatan, sekaligus me-muthola’ah (membaca ulang) atas ilmu-ilmu yang pernah saya kaji. (karena Ramadhan-ramadhan tahun sebelumnya saya tidak pernah mau memanfaatkan kesempatan seperti itu)

Hikmahnya cukup saya rasakan. Terutama dapat membangkitkan saya untuk terus mengasah kemampuan retorika saya dalam berdakwah menyampaikan syariat Islam. Puncaknya, saya rasakan saat Idul Fitri tiba. Kesempatan menjadi khotib kali kedua di Masjid Al Husna kampung saya, menjadi titik ukur sejauhmana saya bisa merasakan perubahan atas diri saya, terutama dalam hal ‘berbicara’. Al hamdulillah, isi khutbah saya, menurut banyak orang yang berkomentar langsung kepada saya atau kepada keluarga saya, cukup menyentuh dan sesuai konteknya (Ya Allah, jauhkanlah saya dari sifat sombong dan riya). (tema yang saya bawakan ‘Berbuat Baik Kepada Orang Tua’)

Memang saya melihat sendiri saat khutbah, jamaah yang berada di barisan paling depan, banyak yang sesenggukan dan menyeka air mata serta mengusap ingus. Pertanda dia terharu dan tersentuh dengan isi khutbah saya. Usai khutbah berlangsung, saya didekati banyak jamaah, mulai dari yang meminta copian khutbah, sampai yang membenarkan isi khutbah saya (sambil menangis di hadapan saya). “bener kuwe noor.., nek ora mbok elengke ngono, bocah saiki podo lali lan kurang ajar karo wong tuwo” (betul apa yang kamu sampaikan, noor –panggilan akrab saya di kampung– kalau tidak kamu ingatkan seperti itu, anak-anak sekarang lupa dan kurang ajar sama orang tua).

Saya membayangkan, andai saja khotbah tahun lalu saya sampaikan dengan bahasa jawa, seperti yang saya sampaikan tahun ini, mungkin isinya akan lebih mengena dan lebih diterima oleh semua jamaah solat Id. Tapi karena tahun lalu saya memakai bahasa Indonesia, akhirnya isi khutbah saya belum bisa berkesan seperti khotbah saya tahun ini. Memang awalnya saya mencoba (maaf) ‘sok’ intelek dan menggunakan beberapa istilah yang kurang membumi, namun justru masyarakat kurang respek dan kurang simpatik, meskipun sebagian kalangan orang-orang moderen saat ini, bisa mencerna bahasa dan isi khutbah saya. Tapi diakui oleh para ibu-ibu bahwa banyak istilah dan pola pikir yang belum nyambung dengan pikiran mereka sehingga isi khutbah tidak bisa ditangkap dan dicerna secara utuh dan menyeluruh.

Akhirnya saya sadar dan ingat atas sabda Rasulullah yang artinya ‘berbicaralah dengan orang lain sesuai kemampuan akal mereka’. Karenanya kita harus melihat kepada calon audiens sebelum kita bicara, kita pelajari dulu siapa pendengarnya. Lalu kita harus menyesuaikan bahasa kita dengan bahasa mereka agar bisa dicerna. Apalah artinya kita bicara muluk-muluk tapi orang lain tidak tahu. Apalagi sampai mau merubah diri. Padahal tujuan berdakwah kita, tujuan kita menyampaikan agama adalah merubah perilaku dari yang salah menuju yang benar, dari yang bathil menuju yang haq, dari yang bengkok menuju yang lurus.