Senin, 30 Juni 2008

HP Menjengkelkan

HP (nan) Menjengkelkan


Andai aku tidak hidup di zaman sekarang ini, mungkin aku tidak ikut jengkel dengan perkakas yang satu ini. Bentuknya tidak seberapa. Digenggam saja terkadang tidak kentara. Memang boleh dibilang manfaatnya luar biasa. Tapi giliran perkakas ini digunakan di saat yang tidak tepat, membuat orang yang berada di sekelilingnya menjadi sewot mendengarnya. Apa gerangan perkakas tersebut ? Hand Phone !! Alias HaPe.
Sebagian orang mendewakan HP. Mereka bilang tidak bisa hidup tanpa HP. Sebagian lainnya mengatakan HP sudah menjadi ukuran gaya hidup seseorang. Semakin mahal dan semakin modern HP yang dipakai, semakin aneh-aneh fitur yang dimuat di HP, berarti semakin tinggi derajat orang tersebut. Ah, terlalu naif menurutku jika sampai ada yang ’memperlakukan’ HP sampai seburuk itu.
Pasalnya, berkali-kali saya dan mungkin orang lain juga dibuat jengkel oleh pemakai HP yang tidak tahu diri. Lihat saja imam sholat. Pak Imam shalat sekarang mendapat tugas baru mengingatkan jama’ahnya mematikan HP saat solat akan dimulai. Karuan saja semakin repot. Alih-alih mengingatkan supaya HP dimatikan, perintah lurus dan merapatkan shaf saja sepertinya tidak digubris. Akibatnya apa, saat sholat berlangsung, bunyi tat..tit..tut.., nada dering yang norak-norak tetap saja ramai bersahut-sahutan. Huh..! dasar tidak tahu diri. Kapan kita punya waktu khusuk menghadap Ilahi kalau saat salat diganggu dengan suara HP. Padahal peringatannya sudah ditempel mulai dari masuk ruang solat, ditempel ditembok atau kaca pintu masuk masjid ataupun musholla. Tapi tetap saja tak dihiraukan.
Itulah jengkel saya yang pertama. Yang tidak bisa saya terima meskipun dibantah dengan segudang alasan apapun. Sebab, apa susahnya kalau mematikan atau tidak membawa HP saat masuk ruang solat. Seberapa penting waktu yang cuma 5 sampai 10 menit tanpa memegang dengan HP. Mustahil kalau bilang tidak bisa!
Jengkel saya yang kedua terjadi saat mengikuti acara formal seperti seminar atau diskusi. Beberapa kali saya temui narasumber yang tidak sopan dengan audien. Misalnya saat dia memberikan presentasi tiba-tiba dihentikan oleh si kotak kecil hitam (atau apalah warnanya) di hadapannya berbunyi tat..tit..tut..Betapa semakin jengkelnya saya ketika dia justru menjawab panggilan itu. Lebih menyakitkannya lagi jawabannya panjang dan disertai heha hehe…ketawa-ketiwi..Lebih sontoloyonya lagi, dia bangga dan memberi tahu kepada audien bahwa yang telpon tadi pejabat atau orang hebat. Huh..emang guwe pikirin..!! mau presiden sekalian kek tetap saja kamu norak. Begitu jawabku dalam hati sambil dongkol. Sementara orang-orang di sampingku saling memandang. Ada yang menggeleng-gelengkan kepala. Tanda senang..?!! Saya yakin pasti mereka juga muak.
Jengkel saya berikutnya ketika melihat pemakai jalan menempelkan HP di kupingnya sambil ngomong sendiri. Tidak peduli yang jalan kaki menyebrang, mengendarai sepeda motor sampai yang jalan kaki di pedestrian, kalau yang pakai mobil tingkat jengkelnya dibawahnya sedikit. Semuanya pernah saya jumpai dan membuat saya gedeg.
Sudah tahu kalau sedang nyebrang jalan kok perhatiannya kepada pembicaraan di HP. Apa dia punya nyawa sepuluh..?! Ditabrak mati satu, lalu yang lain menggantikan..?! Begitu juga yang jalan kali di pedestrian. Saya pernah ditabrak dan diinjak kaki saya sama orang yang sedang main game di HP. Dua tangan pegang HP sambil pecengas pecengis tiba-tiba bruk nabrak saya. Gimana tidak mau marah. Begitu juga dengan pengendara sepeda motor. Mereka lebih edan lagi. Sudah puter balik tidak nyalain lampu sen, tangannya sambil pegang HP. Dibilangin malah balik memarahi saya. Oalah...bocah gembluuuungg....
Huh..!! memang zaman modern benar-benar menguji kesabaran hati kita. Mau tidak mau kita dipaksa orang lain untuk memahami keinginan mereka. Padahal sebenarnya ukuran kewajarannya sudah tidak pantas lagi diberi toleransi. Seperti perasaan jengkel saya ketika menemui pemakai HP yang tidak pada tempatnya tadi. Saya merasa jengkel seperti itu ’halal’ hukumnya. Alias sah-sah saja.
Sebab, apa susahnya barang sejenak memisahkan diri dari belenggu HP. Toh tidak akan menganggu aktifitas kita. Bahkan justru memberi sikap elegan kepada kita yang tampil apa adanya.

Senin, 23 Juni 2008


Kepada Siapapun dan Dimanapun
Jangan Belenggu Tanganmu untuk Bersedekah

Angka kemiskinan di Indonesia terus meningkat. Apalagi pasca kenaikan harga BBM. Diperkirakan orang miskin di Indonesia mencapai lebih dari 41 juta orang. Kondisi seperti inilah yang kemudian memaksa orang miskin untuk mencari sesuap nasi dengan berbagai macam cara. Termasuk dengan meminta-minta di perempatan jalan.
Jika sepuluh tahun lalu peminta-minta di perempatan jalan atau di lampu pengatur arus lalu lintas (traffic light) hanya kita temui di kota-kota besar seperti Surabaya atau Jakarta, namun pemandangan serupa kini telah menghiasai hampir seluruh penjuru kota-kota kecil di berbagai daerah. Kondisi ekonomi bangsa yang masih terpuruk hingga kini merupakan penyebab utama orang-orang miskin ini untuk mengais rizki di perempatan jalan.
Dengan wajah welas asih, berpakaian lusuh, mereka berharap uluran tangan pemakai jalan. Dari anak kecil yang melantunkan lagu-lagu yang mungkin dia sendiri tidak tahu artinya, seorang ibu-ibu sambil menggendong bayi hingga seorang yang –maaf– tidak sempurna fisiknya semuanya berlomba mencari simpati dan belas kasihan dari para pengguna jalan. Begitu banyak cara yang mereka lakukan untuk mengetuk pintu hati para pengguna jalan agar mereka mendapatkan sedikit uang.
Memang bagi sebagian orang, keadaan seperti itu bisa menggangu pemakai jalan. Namun itu semua tak pernah dihiraukan oleh para peminta-minta. Mungkin dalam benaknya mengatakan apa yang dia lakukan halal hukumnya. Bisa jadi istilah daripada mencuri atau mencopet lebih baik meminta-minta menjadi pedoman bagi mereka.
Bagaimana sikap kita sebagai pengguna jalan melihat fenomena di depan mata seperti itu ? Mengulurkan tangan, memberi bantuan dan bersedekah bagi para peminta-minta adalah satu perbuatan yang didorong oleh nurani. Di samping juga anjuran agama.
Islam mengajarkan kita untuk memperbanyak sedekah. Kepada siapapun dan dimanapun. Tak terkecuali di perempatan-perempatan jalan. Tujuannya agar rezeki yang diberikan Allah menjadi barakah. Rasulullah SAW bersabda, ''Belilah semua kesulitanmu dengan sedekah. ''Dalam hadis lain, Rasulullah SAW menjelaskan, ''Setiap awal pagi, semasa terbit matahari, ada dua malaikat menyeru kepada manusia di bumi. Yang satu menyeru, 'Ya Tuhanku, karuniakanlah pengganti kepada orang yang membelanjakan hartanya kerena Allah'. Yang satu lagi menyeru, 'Musnahkanlah orang yang menahan hartanya'.''
Sedekah walaupun kecil tetapi amat berharga di sisi Allah SWT. Orang yang bakhil dan kikir dengan tidak menyedekahkan sebagian hartanya akan merugi di dunia dan akhirat karena tidak ada keberkahan. Jadi, sejatinya orang yang bersedekah adalah untuk kepentingan dirinya. Sebab, menginfakkan harta akan memperoleh berkah, dan sebaliknya menahannya adalah celaka.

Fenomena Peminta-minta di Jalanan
Kalau mau jujur, tak satupun orang di dunia ini punya cita-cita menjadi peminta-minta. Ingat waktu masih kecil, betapa besarnya harapan anak-anak agar kelak menjadi orang berguna. Ada yang ingin menjadi presiden, dokter, profesor dan lain sebagainya. Hampir semua anak bercita-cita luhur seperti itu. Tak terkecuali mereka anak-anak kecil yang sekarang ini (terpaksa) menjadi peminta-minta di jalanan. Bagi mereka yang telanjur nyemplung jadi peminta-minta di jalanan pasti tak akan mau bilang kalau cita-citanya menjadi peminta-minta.
Dengan demikian menjadi peminta-minta adalah suatu keadaan terpaksa. Orang yang terpaksa berarti hidupnya dihimpit penderitaaan. Islam mendorong umatnya agar membantu mereka yang menderita. Oleh karena itu harus kita tolong dan kita bantu. Karena faktanya, hampir sebagian besar peminta-minta di jalanan adalah orang-orang yang sedang menghadapi penderitaan hidup.
Memberi sedekah adalah sebagai wujud rasa syukur atas rezeki yang diberikan Allah SWT kepada kita. Memberi sedekah kepada siapapun adalah wujud rasa cinta kepada sesama. Bisa jadi kita memilah-milah kondisi peminta-minta. Kalau orangnya masih sehat dan secara fisik bisa bekerja, mungkin hati kita berontak sambil berkata ’bukankah dia bisa mencari pekerjaan yang layak?’. Namun bukankah ajaran sedekah yang dianjurkan Nabi tidak memandang siapa dan kondisinya seperti apa orang yang kita beri sedekah ?
Oleh karenanya, kalau sudah niat memberi, jangan ragu untuk memberi. Relakan harta yang kita berikan untuk mereka nikmati. Hilangkan syak wasangka buruk terhadap sikap dan prilaku yang ditunjukkan para pengais rizki di jalanan atau dimanapun peminta-minta itu berada. Jauhkan pikiran kita dari prasangka buruk akan penggunaan uang yang kita berikan itu. Sebaiknya, berdoalah agar harta yang kita berikan menjadi amal jariyah kita.
Mengatasi maraknya peminta-minta di jalanan bagaikan mengurai benang kusut yang tak kunjung selesai. Selama republik ini menggalakkan program pengentasan rakyat miskin, namun selama itu pula fenomena peminta-minta di jalanan tetap saja menjamur.
Larangan mengemis atau meminta-minta sebagaimana yang ditegaskan di KUHP pasal 504 pasal 01 dan 02 tak ubahnya sebuah larangan yang mandul. Pemerintah sendiri gagal mencarikan jalan keluar untuk mengangkat harkat kehidupan mereka. Tugas negara untuk memelihara fakir miskin dan orang telantar sebagaimana yang diamanahkan UUD 1945 sampai sekarang masih belum terlihat perannya.
Malah justru peran lembaga zakatlah yang kini sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang sedang kesusahan. Lembaga zakat berupaya sedemikian rupa membantu kesulitan masyarakat miskin dengan berbagai programnya. Tak terkecuali program pemberdayaan bagi para orang miskin di jalanan. Hanya saja diakui tidak mudah mengajak peminta-minta itu merubah nasibnya. Apalagi boleh dibilang meminta-minta sudah menjadi ’mata pencaharian’ mereka sehari-hari. Kendati demikian, sekeras apapun hati seseorang pasti ada di antara mereka yang ingin meninggalkan dunia peminta-minta.
Karenanya, jangan belenggu tanganmu untuk tetap mengeluarkan sedekah di manapun berada dan kepada siapapun sedekah itu diberikan. Sementara bagi lembaga zakat agar tetap terus berkreasi menciptakan program inovatif dan strategis bagi pemberdayaan masyarakat miskin yang membutuhkan.

Senin, 16 Juni 2008

Pudarnya Sikap Empati

Cuaca di bandara sangat panas. Terik matahari membuat wajah lelaki itu mengeluarkan keringat. Dua tas menggelayut di tangan kanan dan kirinya. Ia berjalan di belakang istri dan ketiga anaknya. Sang istri menggendong si bungsu sambil menenteng tas di tangannya.
Sebenarnya tak ada yang aneh dalam diri keluarga tersebut. Tapi, ada yang tak biasa di lingkungan kita. Sehingga membuat mereka menjadi pusat perhatian banyak orang di bandara. Apa pasal ? Sang ibu yang menggendong si bungsu dalam kondisi hamil tua. Tak lama lagi waktu persalinan tiba. Sementara ketiga anak lainnya masih sangat belia. Rata-rata jarak umurnya satu tahun di antara mereka.
Masuk ke pesawat tak ada perlakuan khusus dari pramugari. Jangankan menuntun si anak, menyapa santun pun tidak. Apalagi menawarkan kursi kosong di kelas VIP. Yang ada malah sikap sinis melihat sang ibu yang hamil tua dan diikuti ketiga anak kecil dibelakangnya.
Untuk perjalanan satu atau dua jam, mungkin keadaan seperti ini bisa ditolerir tapi bagaimana jika perjalanannya jauh ke luar negeri. Apakah tidak ada pelayanan dan fasilitas khusus bagi penumpang dalam keadaan darurat seperti ini.
Anak adalah amanat dari Allah. Apapun keadaannya seorang ibu akan berusaha untuk tetap menjaganya. Begitu pula dengan bayi yang masih ada dalam kandungan sang ibu. Pasti ia berharap dirinya dan anaknya nanti lahir dengan selamat.
Bagi sang ibu, perlakuan seperti itu tidak membuat dirinya berkecil hati. Ia tetap menunjukkan sikap wajar seperti penumpang lainnya di pesawat. Sementara penumpang lainnya tak bisa berbuat apa-apa. Kecuali menaruh simpati dalam hati dan rasa iba atas sketsa kehidupan di depan mata.
Tiba di bandara London susana menjadi berbeda. Turun dari pesawat, sang ibu yang sedang hamil tua di sambut petugas dengan hangat dan bersahabat. Padahal ia baru pertama kali menginjakkan kaki di negara itu. Petugas memberikan ruang istirahat khusus bagi si ibu. Mereka juga memberikan layanan luar biasa bagi anak-anak kecil yang bersama ibunya. Segala macam mainan anak-anak, mulai dari boneka, mobil-mobilan dan makanan ringan semua diberikan. Rasa peduli dan sikap empati yang bernuansa Islami diperlihatkan petugas layanan umum di negara yang mayoritas penduduknya non muslim.
Keluar dari bandara, mobil ambulans pun telah siap siaga. Mengantar sang ibu menuju tempat tinggalnya. Sampai di tempat tinggal, lagi-lagi ia mendapatkan layanan yang tidak ia duga. Sambutan tetangganya melebihi seorang saudara, padahal ia baru pertama kali mengenalnya. Begitu juga para petugas di lingkungannya (semacam petugas RT / Kelurahan) yang akrab dan bersahabat.
Petugas juga siap membantu si ibu jika sewaktu-waktu persalinan tiba. Dan ternyata, keesokan harinya tanda-tanda persalinan mulai terasa. Petugas mengantarnya ke rumah sakit terdekat. Mereka juga ikut menunggui si ibu selama persalinan berlangsung. Sampai akhirnya tangis bayi pun pecah siang itu. Rasa gembira menyelimuti suasana rumah sakit. Tak ketinggalan para petugas. Mereka juga ikut bersuka cita atas kelahiran sang jabang bayi. Karangan bunga, ucapan selamat dan tali kasih dari petugas diberikan kepada keluarga pendatang baru yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.
Tak ada kesulitan izin tinggal bagi pendatang baru, apalagi kondisinya darurat. Begitu juga tak ada istilah permintaan uang jaminan pembayaran rumah sakit bagi kondisi seperti yang dialami keluarga itu. Semua layanan dipermudah. Bahkan petugasnya terlibat membantu secara langsung.
Betapa indahnya jika cinta kasih itu diberikan di antara kita tanpa melihat siapa mereka dan darimana mereka berasal. Betapa mulianya kehormatan bangsa kita jika masyarakatnya mau melakukan seperti yang dilakukan petugas ; mulai dari bandara London sampai kelurahan di sana.
Lalu bagaimana dengan sikap pramugari serta tidak tersedianya layanan darurat di bandara kita. Di manakah nilai-nilai ketimuran kita yang menjunjung tinggi kekeluargaan. Sudah pudarkah rasa empati di antara kita?

Lebih Baik Telanjur Mengeluarkan Zakat

Lebih Baik Telanjur Mengeluarkan Zakat
daripada Telanjur Memakan Zakat


Beberapa tahun silam, seorang karyawati pegawai negeri golongan dua datang kepada seorang ustadzah. Ia menyampaikan maksud tujuannya untuk mengeluarkan zakat dari gaji yang diterima setiap bulan. Karena dalam keyakinannya dengan mengeluarkan zakat ia dapat menjalani hidup dengan jujur dan hati yang nyaman, tenteram, tanpa penyesalan dan tanpa kegelisahan.
“Apakah gaji wajib dikeluarkan zakatnya?” tanya dia kepada ustadzah itu. “Kenapa?” Jawab ustadzah kembali bertanya. “Apakah Anda akan mengeluarkan zakat atas gaji Anda?”. Dalam hati ustadzah bertanya, berapakah gaji pegawai golongan dua yang hanya tamat sekolah menengah ? Apa gerangan yang menyebabkannya ingin mengeluarkan zakat gajinya yang kecil itu ? Sedangkan, menurut pengakuannya, ia tidak memiliki penghasilan lain.
“Setiap menerima gaji terbanyang oleh saya orang tua saya yang hidup di kampung sebagai petani. Setiap kali panen, beliau selalu mengeluarkan zakatnya. Padahal orang tua saya tidak kaya. Sawahnya hanya beberapa petak saja. Hasilnya tidak cukup untuk dimakan sekeluarga sampai panen berikutnya. Tetapi itu dapat dicukupi dengan hasil palawija yang ditanam di antara musim panen satu dengan musim panen lainnya,” ungkap karyawan itu menceritakan keadaan keluarganya di kampung halaman.
“Berapa gajimu?” sang ustadzah kembali bertanya. “Gaji saya kurang dari lima ratus ribu (waktu itu). Akan tetapi bila gaji saya dibelikan padi, barangkali dalam waktu dua atau tiga bulan gaji telah dapat senishab. Padahal orang tua saya mulai dari turun ke sawah sampai panen, yang memakan waktu enam bulan barulah memperoleh senishab padi itu. Itulah yang menyebabkan saya merasa takut punya hutang jika tidak mengeluarkan zakat atas gaji yang saya terima tiap bulan,” ujarnya.
Ia berpendapat, lebih baik telanjur menunaikan zakat, daripada telanjur memakan zakat. Bila telanjur memakan atau tidak mengeluarkan zakat, bila kelak ternyata tergolong orang yang sudah wajib mengeluarkan zakat, tentu yang tidak dikeluarkan selama ini menjadi hutang. Jika terus menerus tidak dikeluarkan maka jumlahnya akan terus menumpuk.
Bila akhirnya sanggup membayar, tentunya bersyukur. Tapi bila akhirnya tidak sanggup, ia berkeyakinan hutang tersebut akan ditagih Allah SWT di akhirat kelak.
”Kalau begitu, bila mau mengeluarkan zakat gaji, lakukanlah,” jawab ustadzah. ”Tidak perlu menunggu keputusan ulama tentang wajib atau tidaknya. Yang penting hatimu tenang. Dan mudah-mudahan Allah memberikan rezeki lebih banyak lagi,” ujar ustadzah sembari mendoakan karyawati tadi.
Setelah tiga tahun berselang, karyawati itu kembali datang kepada ustadzah. Ia bercerita selama tiga tahun itu kewajiban zakat atas gajinya sudah dikeluarkan secara rutin. Di samping katanya, sisa gajinya ia tabung. Ketika mencapai jumlah tertentu, tabungan itu dibelikan emas murni. Tidak berapa lama kemudian harga emas melonjak tinggi. Hampir dua kali lipat harga semula.
”Jika emas yang saya simpan itu dijual sekarang, harganya cukup untuk biaya naik haji tahun ini,” katanya. ”Jadi kamu mau naik haji?” tanya ustadzah keheranan. ”Ya, bu” jawabnya. ”Sudah lama saya berkeinginan untuk menunaikan rukun Islam kelima itu. Mula-mula saya tidak yakin keinginan itu akan terpenuhi karena gaji saya tergolong kecil. Apalagi tidak ada yang membantu saya. Rupanya Allah mendengar do’a saya dan akhirnya dikabulkan,” ujar dia.
Teman-temannya, orang tuanya dan karib kerabatnya, terheran-heran mendengar ia akan berangkat ke Tanah Suci Makkah. Menunaikan ibadah haji dengan biaya sendiri, tidak ada orang yang menyumbang atau membantunya. Hanya Allah yang memberi jalan yang baik dan halal tanpa diperhitungkan.
Dalam hati ustadzah berkata, benar-benar si karyawati yang berusaha memenuhi kewajibannya kepada Allah, akhirnya diberi karunia tanpa diketahui dan diperhitungkannya, sehingga gajinya yang sedikit itu menjadi berkah. Cukup untuk kehidupan sederhana dan dapat pula disisakan untuk ditabung. Semua itu tentu berkat zakat yang dikeluarkannya.

Jumat, 13 Juni 2008

Selamatan = Sedekah

Selamatan = Sedekah

Suatu hari sahabat Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia. Namun karena ia tidak berada di rumah, maka Saad merasa bersalah dan harus melakukan sesuatu untuk ibunya. Datanglah Saad kepada Nabi Muhammad SAW menanyakan keinginannya untuk melakukan sesuatu untuk ibunya yang sudah meninggal itu. Saad bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasulullah SAW menjawab : “Ya, bisa bermanfaat.” Mendengar jawaban seperti itu lalu Saad berkata, ”Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuk ibuku” (HR Bukhari).
Hadits di atas merupakan salah satu hadits yang dijadikan rujukan bagi orang yang hendak mengadakan selamatan atau mendo’akan bagi keluarganya yang meninggal dunia. Inti acara selamatan adalah sedekah. Memberikan harta benda dan suatu kebaikan kepada orang lain.
Selamatan merupakan istilah yang dipakai orang Jawa –dan sekarang telah menjadi suatu kebiasan orang Jawa– untuk mendoakan jiwa orang yang telah meninggal dunia agar selamat dari api neraka. Sebenarnya kebiasaan ini sudah ada sebelum agama Hindu dan Budha masuk Nusantara, khususnya Jawa. Tentu saja dalam perjalanannya selamatan ini mendapat pengaruh Hindu dan Budha. Yang diganti-ganti itu hanyalah mantra atau doanya. Prinsip selamatan sendiri tetap dan setelah Islam masuk, berbagai tata cara dan mantranya diubah disesuaikan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Manusia tidaklah seperti binatang. Binatang mati tidak membutuhkan upaya penyelamatan atau doa bagi jiwanya, tetapi manusia melalukan upacara terutama ketika akan dimakamkan. Mula-mula amat primitive. Sekedar mengirimkan puja dan mantra. Namun pada tahap berikutnya telah mengarah kepada bentuk yang lebih maju yang mungkin bentuknya hanya seremonial belaka.
Bagi sebagian orang mengatakan bahwa acara penyelamatan atau mengirim doa itu tindakan bid’ah. Karena orang yang demikian ini berpandangan bahwa hanya dirinya sendiri (diri si mayit) yang bisa menyelamatkan. Yaitu dengan cara menjadi manusia yang beriman dan beramal shaleh. Menurut pendapat ini –selain bid’ah– juga melakukan amal yang tidak berguna. Bahkan selamatan dan acara mendo’akan si mayit dipandang sebagai amalan yang membebani keluarga si mayit. Karena itu selamatan dianggap menjerumuskan pelakunya masuk neraka. Berbuat bid’ah dianggap sesat. Dan setiap yang sesat membawa ke neraka.
Memang benar, untuk mencapai kesadaran, memperoleh pencerahan hidup, atau untuk penyempurnaan diri ; semuanya tergantung perjuangannya sendiri. Sama dengan orang yang ingin menjadi orang pintar, tentu dirinya sendiri yang bisa meraihnya. Namun, jangan lupa bahwa guru atau orang lain itu, berfungsi untuk membantu seseorang untuk menemukan jalan hidupnya. Ya, fungsi orang lain adalah membantu ! Bahkan bantuan itu yang seolah-olah mewujudkan tercapainya seserorang pada tujuan hidupnya.
Sama seperti orang yang hendak melahirkan. Secara normal, tanpa bidan atau dukun beranak pun orang bisa melahirkan anaknya, jika sudah pada waktunya. Namun kenyataan saat ini tidak seratus persen berjalan normal, ada orang yang kesulitan melahirkan sampai berhari-hari meraung kesakitan karena tak dapat melahirkan. Akhirnya perlu dibantu dokter dengan bedah sesar. Dus, untuk orang tertentu perlu ditolong.
Apakah di Islam tidak ada upacara penyelamatan jiwa atau mendo’akan kepada orang yang mati itu ? Apakah jiwa orang yang meninggal tidak dapat ditolong oleh orang yang hidup untuk memperoleh keselataman hidupnya di alam akhirat ? Secara eksplisit, secara jelas, ajaran penyelamatan jiwa atau mendo’akan orang yang meninggal memang tidak ada. Namun, secara implisit, secara tersamar, jelas ada. Mengapa tidak diungkapkan secara jelas saja ? Sehingga orang tidak meraba-raba ajaran Islam. Karena basis hidup masyarakat di Jazirah Arab pada mulanya tidak mengenal hidup setelah mati. Masyarakat jahiliyah berpandangan bahwa setelah kematian tidak ada apa-apa.
Akan tetapi kedatangan Islam telah mengajarkan teknis penyelematan. Lho, teknis yang mana ? Oh, ada kok ! Caranya sederhana. Yaitu caranya dengan melakukan shalat jenazah atau shalat ghaib. Cara inilah yang diajarkan Nabi sebagaimana disebutkan di dalam haditsnya.
Dari Auf bin Malik ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah SAW – setelah selesai shalat jenazah-bersabda : ”Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
Dengan cara shalat janazah, masyarakat Arab tidak mengalami kesulitan untuk melaksanakannya. Karena bentuk shalat fardlu lebih sulit dilaksanakan daripada shalat janazah. Memandikan mayit juga termasuk upacara penyucian jiwa si mayit. Dengan dimandikan dan dishalatkan itu, diharapkan jiwa sang mayit mendapat ampunan dan perlindungan Allah. Diharapkan jiwa orang yang meninggal itu bisa kembali kepada Allah. Paling tidak jiwa si mayit tidak mengalami siksaan di alam kubur.

Raih Keseimbangan Dunia-Akhirat dengan Bekerja

Raih Keseimbangan Dunia-Akhirat dengan Bekerja

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang mempunyai berbagai kebutuhan hidup, mulai dari yang primer, sekunder sampai kebutuhan yang mewah. Karena itu manusia termotivasi untuk bekerja.
Dalam kaitan ini, Allah memang telah menjamin rizki setiap makhluknya, yang dalam bahasa Alquran, “makhluk yang melata”. Kata ini secara bahasa berarti makhluk yang bergerak. Dengan demikian makhluk yang bergerak dan aktif dijamin rizkinya oleh Allah.
Mengapa demikian ? Karena aktifitas itulah yang menjadi sumber kehidupan makhluk Allah. Rasulullah telah menggambarkan seeokor burung yang keluar dari sarangnya di pagi hari dalam keadaan lapar, lalu pulang di sore hari dengan perut kenyang. Burung terbang ke sana ke mari adalah bukti ia beraktifitas.
Dengan demikian prinsipnya adalah selama ada usaha, aktifitas dan kreatifitas, niscaya Allah akan mendatangkan rizki kepada hamba-Nya.
Dilihat secara historis, bekerja sebenarnya telah menjadi budaya dasar umat manusia. Semenjak dahulu manusia sudah bekerja. Dalam pentas sejarah nabi-nabi mereka adalah insan-insan yang aktif bekerja.
Islam adalah agama yang sangat menekankan amil. Karena itulah, penilaian terhadap derajat seseorang lebih didasarkan pada amalnya, bukan berdasarkan status sosial atau kekayaannya. Amal seseorang tidak saja menjanjikan kebahagiaan hidupnya di dunia yang sekarang, tapi juga di akhirat kelak.
Firman Allah (yang artinya) “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhkan akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan” (an-Nahl : 97).
Allah, sengaja menciptakan dua tahap kehidupan bagi manusia untuk membuktikan siapakah di antara mereka yang lebih baik amalnya. Firman-Nya (yang artinya) “(Dia) yang menjadikan mati dan hidup supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang baik amalnya” (al Mulk : 2)
Oleh karena itulah manusia disuruh bekerja atau beramal dengan tekun guna mencapai kehidupannya yang berbahagia di dunia dan akhirat. Dalam kaitan ini ada sebuah hadits yang memotifasi kita untuk terus bekerja. “Bekerjalah (beramallah) kamu untuk duniamu seakan kamu hidup abadi, dan bekerjalah (beramallah) untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok”
Hadits ini memberikan arahan perlunya kerja keras untuk memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Di samping itu, juga memberikan isyarat betapa tidak dapat dipisahkan antara amal duniawi dan amal ukhrawi. Baik amal duniawi maupun ukhrawi, keduanya berjalan secara integral yang dipersatukan oleh niat dan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh si pelakunya.
Bila suatu amal diniatkan untuk mengejar kebahagiaan duniawi, maka yang akan diperoleh adalah kebahagiaan duniawi. Tapi bila suatu amal diniatkan untuk mencapai kebahagiaan ukhrawi, maka yang akan diperoleh adalah kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus.
Oleh karena demikian, menyatunya antara aktifitas duniawi dan aktifitas ukhrawi dalam kehidupan seorang yang beriman, maka Islam tidak mengenal adanya dikhotomi antara keduanya.
Agaknya terlalu naif, apabila kita membuat suatu garis pemisah antara aktifitas duniawi dan ukhrawi sebagaimana dipahami oleh sebagian orang. Karena, pandangan dikhotomis ini secara tidak langsung telah mengantarkan seseorang kepada pemahaman sekularistik yang memisahkan atau mengesampingkan agama dari kehidupan duniawi. Persoalan-persoalan kehidupan seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya seakan terlepas dari kendali agama.
Berkaitan dengan orientasi kerja, Islam tidak memberikan penekanan (stressing) kepada salah satunya –dunia maupun akhirat– tapi mengajarkan keseimbangan. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya) “Dan carilah olehmu pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia” (al-Alqashas : 77).
Ayat ini mengajarkan kepada umat Islam agar tidak hanya mementingkan akhirat, sehingga melupakan dunia. Sebaliknya, juga tidak dibenarkan seorang muslim mengerahkan tenaganya demi mencari kenikmatan dunia semata, sehingga melupakan akhiratnya. Tapi mereka dituntut menjaga keseimbangan dan keselarasan antara keduanya.