Jumat, 13 Juni 2008

Selamatan = Sedekah

Selamatan = Sedekah

Suatu hari sahabat Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia. Namun karena ia tidak berada di rumah, maka Saad merasa bersalah dan harus melakukan sesuatu untuk ibunya. Datanglah Saad kepada Nabi Muhammad SAW menanyakan keinginannya untuk melakukan sesuatu untuk ibunya yang sudah meninggal itu. Saad bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasulullah SAW menjawab : “Ya, bisa bermanfaat.” Mendengar jawaban seperti itu lalu Saad berkata, ”Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuk ibuku” (HR Bukhari).
Hadits di atas merupakan salah satu hadits yang dijadikan rujukan bagi orang yang hendak mengadakan selamatan atau mendo’akan bagi keluarganya yang meninggal dunia. Inti acara selamatan adalah sedekah. Memberikan harta benda dan suatu kebaikan kepada orang lain.
Selamatan merupakan istilah yang dipakai orang Jawa –dan sekarang telah menjadi suatu kebiasan orang Jawa– untuk mendoakan jiwa orang yang telah meninggal dunia agar selamat dari api neraka. Sebenarnya kebiasaan ini sudah ada sebelum agama Hindu dan Budha masuk Nusantara, khususnya Jawa. Tentu saja dalam perjalanannya selamatan ini mendapat pengaruh Hindu dan Budha. Yang diganti-ganti itu hanyalah mantra atau doanya. Prinsip selamatan sendiri tetap dan setelah Islam masuk, berbagai tata cara dan mantranya diubah disesuaikan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Manusia tidaklah seperti binatang. Binatang mati tidak membutuhkan upaya penyelamatan atau doa bagi jiwanya, tetapi manusia melalukan upacara terutama ketika akan dimakamkan. Mula-mula amat primitive. Sekedar mengirimkan puja dan mantra. Namun pada tahap berikutnya telah mengarah kepada bentuk yang lebih maju yang mungkin bentuknya hanya seremonial belaka.
Bagi sebagian orang mengatakan bahwa acara penyelamatan atau mengirim doa itu tindakan bid’ah. Karena orang yang demikian ini berpandangan bahwa hanya dirinya sendiri (diri si mayit) yang bisa menyelamatkan. Yaitu dengan cara menjadi manusia yang beriman dan beramal shaleh. Menurut pendapat ini –selain bid’ah– juga melakukan amal yang tidak berguna. Bahkan selamatan dan acara mendo’akan si mayit dipandang sebagai amalan yang membebani keluarga si mayit. Karena itu selamatan dianggap menjerumuskan pelakunya masuk neraka. Berbuat bid’ah dianggap sesat. Dan setiap yang sesat membawa ke neraka.
Memang benar, untuk mencapai kesadaran, memperoleh pencerahan hidup, atau untuk penyempurnaan diri ; semuanya tergantung perjuangannya sendiri. Sama dengan orang yang ingin menjadi orang pintar, tentu dirinya sendiri yang bisa meraihnya. Namun, jangan lupa bahwa guru atau orang lain itu, berfungsi untuk membantu seseorang untuk menemukan jalan hidupnya. Ya, fungsi orang lain adalah membantu ! Bahkan bantuan itu yang seolah-olah mewujudkan tercapainya seserorang pada tujuan hidupnya.
Sama seperti orang yang hendak melahirkan. Secara normal, tanpa bidan atau dukun beranak pun orang bisa melahirkan anaknya, jika sudah pada waktunya. Namun kenyataan saat ini tidak seratus persen berjalan normal, ada orang yang kesulitan melahirkan sampai berhari-hari meraung kesakitan karena tak dapat melahirkan. Akhirnya perlu dibantu dokter dengan bedah sesar. Dus, untuk orang tertentu perlu ditolong.
Apakah di Islam tidak ada upacara penyelamatan jiwa atau mendo’akan kepada orang yang mati itu ? Apakah jiwa orang yang meninggal tidak dapat ditolong oleh orang yang hidup untuk memperoleh keselataman hidupnya di alam akhirat ? Secara eksplisit, secara jelas, ajaran penyelamatan jiwa atau mendo’akan orang yang meninggal memang tidak ada. Namun, secara implisit, secara tersamar, jelas ada. Mengapa tidak diungkapkan secara jelas saja ? Sehingga orang tidak meraba-raba ajaran Islam. Karena basis hidup masyarakat di Jazirah Arab pada mulanya tidak mengenal hidup setelah mati. Masyarakat jahiliyah berpandangan bahwa setelah kematian tidak ada apa-apa.
Akan tetapi kedatangan Islam telah mengajarkan teknis penyelematan. Lho, teknis yang mana ? Oh, ada kok ! Caranya sederhana. Yaitu caranya dengan melakukan shalat jenazah atau shalat ghaib. Cara inilah yang diajarkan Nabi sebagaimana disebutkan di dalam haditsnya.
Dari Auf bin Malik ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah SAW – setelah selesai shalat jenazah-bersabda : ”Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
Dengan cara shalat janazah, masyarakat Arab tidak mengalami kesulitan untuk melaksanakannya. Karena bentuk shalat fardlu lebih sulit dilaksanakan daripada shalat janazah. Memandikan mayit juga termasuk upacara penyucian jiwa si mayit. Dengan dimandikan dan dishalatkan itu, diharapkan jiwa sang mayit mendapat ampunan dan perlindungan Allah. Diharapkan jiwa orang yang meninggal itu bisa kembali kepada Allah. Paling tidak jiwa si mayit tidak mengalami siksaan di alam kubur.

Tidak ada komentar: