Minggu, 14 Desember 2008

Mavia Minyak Tanah

‘Mavia’ Minyak Tanah

Konversi minyak tanah ke gas elpiji yang sekarang berjalan di Jakarta ternyata membuat sebagian orang menjadi ‘pintar’. Pintar memanfaatkan kesempatan untuk membisniskannya demi meraup keuntungan yang berlipat-lipat.

Apa pasal ? Pasca konversi ke gas elpiji, ternyata minyak tanah tidak serta merta menghilang dari Jakarta. Tengok saja di jalan dan gang-gang masuk perkampungan di Jakarta, pasti pernah kita temui penjual minyak tanah keliling. Mereka tidak beralih menjual gas, seperti yang ada di iklan, tapi tetap keliling menjual minyak tanah. Hanya saja jumlah penjualnya tidak sebanyak dulu.

Begitu juga pangkalan minyak tanah. Pangkalan yang dulu ramai, tidak langsung mati pasca konversi. Beberapa pangkalan yang sering saya lewati, ternyata masih menggeliat beroperasi, meskipun secara sembunyi-sembunyi.

Saat melihat satu, dua, penjual minyak keliling lalu timbul pertanyaan, ”lho kok masih ada orang jual minyak tanah keliling, katanya sudah konversi ke gas elpiji,” tanyaku dalam hati. Dulu, tetangga saya sebelum pindah ke gas, katanya harus mencari minyak ke tempat yang cukup jauh. Itupun harganya mencapai 10 ribu. Tapi, ah, masa bodoh, toh saya pribadi belum membutuhkan kedua bahan bakar itu saat ini.

Ee.. lama-lama kelamaan, di saat musim hujan tiba, muncul keinginan membeli minyak tanah untuk memasak air buat mandi usai kehujanan. Yah, maklum tidak punya kompor gas. Yang ada di kost, cuma kompor bikinan Bang Benih pengrajin asal Depok.

Iseng-iseng coba tanya ke tetangga di mana penjual minyak tanah, ee malah ditertawakan. Ealah nasib..’bukannya tidak mau membeli kompor gas, mpok.. tapi takut meleduk seperti yang di tipi itu..’ jawabku kepada mpok-mpok yang tadi menertawakan saya. Lagian kalau pakai kompor gas semua, terus siapa dong yang beli kompornya Bang Sabenih pengrajin asal Depok, itu..!?

Naluri ’pencari beritaku’ muncul. Kebetulan tiap berangkat kerja, saya sering mampir nyarap di warteg yang letaknya tak jauh dari –bekas– pangkalan minyak tanah. Di pangkalan ini, nyaris tak terlihat ada aktifitas jualan minyak. Sepi dan berubah jadi tempat mangkal tukang sayur. Tiap hari nangkring di situ juga tak pernah lihat tukang minyak keliling menata dagangannya. Drum-drum minyak sudah dibersihkan. Papan nama sudah diturunkan.

Eit..ternyata saya tertipu. ’Pak Tua’ tukang warteg langsung nyerocos cerita ketika saya tanya, kenapa pangkalan ini tidak jualan minyak lagi. Dia langsung cas cis cus membeberkan bisnis minyak terselubung di pangkalan ini.

“Lha.. piye to mas..mas..di dalam rumah pangkalan itu masih banyak minyak tanah. Ya kalau dari luar tidak kelihatan,” ungkap Pak Tua polos. Dia cerita, minyak tanah yang dijual di pangkalan itu diambil dari kampung. Tepatnya dari suatu daerah di Jawa Tengah. Seminggu tiga kali sedikitnya 300 liter habis dijual di Jakarta. Minyak ini diambil dari kampung dengan harga Rp 3500 dan dijual di Jakarta dengan harga antara Rp 9500 – 10.000. Wuih.....!!!

Untuk membungkus jejak transportasi dari kampung, minyak tersebut dibawa pakai travel. Dimasukkan jerigen bekas minyak goreng yang masih ada merknya. “Tuh..lihat saja masih ada mobil dengan plat nomor daerah yang masih parkir di situ. Lha, mobil itulah yang mengangkut minyak,” beber Pak Tua sambil menunjuk mobil APV warna hijau tua yang sedang parkir di situ.

Ck..ck...ck...Hebat...! hebat...!

Coba dihitung, jika seminggu tiga kali jual minyak dengan keuntungan 6500/liter, keuntungan yang didapat minimal 2.5jt/minggu. Edan..po ora..! Pantesan pasokan minyak di kampung juga ikut kacau. Antre minyak terjadi di mana-mana, meski bukan daerah konversi. Lha kalau satu pangkalan seminggu sekali mengambil 300 liter minyak dari kampung dibawa ke Jakarta, kalau ada 50 pangkalan di Jakarta...lak yo habis to jatah minyak buat masyarakat di kampung. Oalah, gemblung tenan..!!

Begitu sadisnya ‘mavia minyak tanah’ mencari uang dengan cara seperti itu. Meskipun secara transaksi bisnis mencari untung adalah hak dalam jual beli, tapi jika kemudian membuat sengsara orang lain yang mestinya lebih berhak (orang kampung), saya yakin agama pasti melarang. Juga masuk kategori kriminal.

Ayo..! Siapa berani mengungkap jaringan mavia minyak tanah ini dan melaporkan polisi..!

Tidak ada komentar: