Minggu, 14 Desember 2008

Kecewa

Kecewa

Pernahkah Anda kecewa ? Pasti setiap orang pernah mengalaminya. Termasuk juga saya. Pekan lalu saya mengalami kekecewaan yang luar biasa. Mengalami suatu perasaan tidak senang, tidak puas bahkan marah karena tidak dapat menggapai harapan. Harapan yang sudah saya diidam-idamkan sejak lama. Harapan yang bukan sekedar keinginan. Tapi harapan yang sudah mengkristal menjadi cita-cita saya sejak 5 tahun lalu. Harapan yang nantinya akan menjadi amunisi bagi senjata kehidupan saya sekeluarga.

Ugh…!! Sakit luar biasa hati ini bila mengingat kejadian itu. Namun karena aku harus tetap tegar menghadapinya, rasa kecewa itu terpaksa ku simpan rapat-rapat. Ku bungkus rapi dengan senyuman. Ku kubur di relung hati yang paling dalam. Biar tidak kelihatan oleh siapapun. Termasuk istri dan keluargaku. Padahal namanya juga manusia, setegar apapun menghadapi kekecewaan apalagi jenis kecewanya amat sangat mendalam, biasanya terpancar di wajah. Minimal wajahnya kelihatan murung. Cemberut. Untungnya saat mengaca, raut wajahku tak cemberut-cemberut amat.

Hanya mungkin saat itu, orang lain melihat wajah saya seperti orang bingung. Bibir masih bisa bicara dan tersenyum. Mulut bisa tertawa. Tapi senyum dan tawa yang dibelenggu. Senyum dan tawa yang tidak lepas dan tidak dikehendaki oleh hati, tapi senyuman yang masih ditekan oleh emosi dan pikiran. Hingga terlihat mbetotot dan tidak karuan.

Lepas dari hadapan keluarga, - karena harus kembali ke tempat kerja di perantauan -, pengaruh kecewa itu baru terasa. Pikiran saya tidak fokus. Kepala rasanya berputar-putar. Berjalan seperti melayang. Bangun tidur sempoyongan. Pegang sendok makan tanganku bergetar. Meletakkan gayung air di kamar mandi selalu jatuh. Saat sikat gigi, gusiku justru tertusuk. Pokoknya, gerak motorik saya sepertinya tidak dikehendaki oleh otak. Duh, aneh!

Itu berjalan hampir satu minggu. Beruntung masih bisa mengendarai sepeda motor berangkat dan pulang kerja sejauh 25 KM. Bersyukur masih bisa menjalankan kewajiban mencari nafkah. Anehnya, kalau dibuat kerja dan menulis di depan komputer, malah jadi sembuh. Tapi lepas dari komputer, semua rasa aneh di tubuhku kembali menyerang.

Sempat beberapa kali teriak sekencang-kencangnya di dalam bak air kamar mandi sebagai terapi psikis depresi, tetapi tetap tidak bisa menghilangkan rasa kecewa itu.

Bawang putih yang biasa menjadi andalan obat sakit kepalaku, kini tak mampu lagi menggempur rasa aneh di kepalaku. Paramex yang kadang-kadang kujadikan cadangan, juga ora kroso. Olah pernafasan perut yang menjadi aji-aji pamungkas, juga mental. Tayangan humor tivi, bacaan buku penyemangat jiwa dan semuanya sudah saya coba, tapi nggak ngefek sama sekali. Semuanya nihil. Wiridan solawat dan asmaul khusna memang bisa mengurangi, tapi cuma sebentar. Kumat lagi saat berhenti...

Wah, mosok saya jadi stres gara-gara kecewa. Kan nggak lucu...Sesekali akal sehatku berbicara seperti itu..

Tapi alhamdulillah, seiring berjalannya waktu, bersamaan dengan pertolongan Allah yang kupinta setiap kali usai sholat, sedikit demi sedikit rasa aneh itu berangsur menjauh. Benteng iman di hatiku alhamdulillah masih kuat. Sehingga tak sampai berbuat di luar kendali. Sekarang saya yakin, bahwa semua itu pasti ada hikmahnya. Apalagi Allah tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya.

Filosofi Manggis dan Delima

Filosofi Manggis dan Delima

Buah manggis dan delima tentu tidak asing bagi kita. Di antara kita pasti pernah menyantapnya. Buah manggis rasanya manis. Begitu juga buah delima. Hanya bedanya kalau buah manggis, manisnya legit sedangkan delima manis biasa. Tapi kalau belum matang betul, buah delima kadang rasanya asem banget.

Sebetulnya tidak ada hubungan apa-apa di antara kedua buah tersebut. Hanya saja kebetulan manggis dan delima dijadikan sebagai simbol pesan moral oleh sebuah kerajaan Islam di Jawa Tengah. Inilah yang mendorong saya untuk kemudian mendokumentasikan di dalam tulisan.

Kebetulan saya senang dengan makna filosofis yang terkandung di balik penciptaan sesuatu baik itu makanan, buah-buahan dan ciptaan Allah lainnya. Apalagi di balik makna filosofi itu terdapat pesan moral yang sangat agung. Wah, rasanya senang sekali saya mengulang-ulang dan memikirkannya sebagai upaya tafakkur akan ciptaan Allah. Kan, Allah menjanjikan pahala satu tahun bagi orang yang mau bertafakkur atas ciptaan-Nya selama beberapa saat. Itung-itung beribadah..

Mungkin sewaktu kuliah dulu saya terlalu banyak membaca buku-buku filsafat hingga akhirnya sampai sekarang masih terbawa. Yah, tak apalah. Yang penting tidak sampai menjadi orang yang berfilsafat an sich. Dan tidak sampai terjerumus pada ajaran darmo gandul seperti yang sering dilontarkan kakak saya setiap kali saya membaca buku filsafat. ”Awas lho, kalau kamu terlalu banyak membaca buku filsafat, bisa-bisa kamu tidak solat, tidak puasa, tidak mau menjalankan ajaran agama dan terjerumus pada ajaran darmo gandul,” ujar kakakku menakut-nakuti. ”Ah, ada-ada saja.Yang penting nilaiku A setiap mata kuliah filsafat,” jawabku sambil membela..

Terus terang kita jarang sekali mau memikirkan makna filosofi ciptaan Allah berupa buah-buahan. Begitu juga saat makan manggis atau delima. Melihat ada manggis di atas meja biasanya langsung saja disambar. Ditekan ujung atas dan bawahnya pakai jari, kemudian terbelah dan terlihat dalamnya. Srep.. masuk ke mulut.

Lucunya kadang malah menggerutu. Lho, isinya kok cuma dua biji. Sudah begitu yang satu lagi ukurannya lebih kecil. Padahal kalau sejenak sebelum kita makan mau memperhatikan sebentar saja, maka kita tidak akan menggerutu seperti itu. Kenapa ? Karena jumlah isi manggis sudah ditunjukkan dengan jumlah kulit yang nempel di bagian bawah (mirip pupil). Jika jumlahnya dua, pasti isi manggis jumlahnya juga dua. Dan tidak akan pernah selisih. Apalagi berbeda. Ini artinya pesan sebuah konsistensi. Konsisten antara tindakan dan ucapan. Isi hati dengan perbuatan tidak boleh berbeda. Itulah pesan agama.

Lain daripada itu, buah manggis adalah contoh dari pesan sebuah hadits. Bahwa Allah tidak akan melihat bentuk fisik seseorang. Tapi Allah akan melihat hati dan amal baik seseorang. Biarpun rupanya jelek, kulitnya hitam, yang penting hatinya bersih (dan tentunya manis rasanya, seperti manggis)

Delima. Siapa yang memberi nama delima ? Pasti tidak ada yang bisa menjawab. Paling-paling bilang kalau yang memberi nama delima adalah nenek moyang kita dulu. Benar. Nenek moyang kita lah yang memberi nama delima. Nenek moyang kita dulu adalah orang-orang alim dan sholeh dan pandai ilmu agama. Mereka memberi nama delima agar kita tetap mengingat akan keesaan Allah.

Lho, kenapa bisa begitu. Sebab di dalam buah delima terdapat pesan tauhid yang cukup mendalam. Delima, berasal dari kata ’dal’ (huruf hijaiyah yang ke delapan – silakan hitung barangkali saya salah) dan ’lima’. Artinya, huruf dal yang jumlahnya ada lima. Surat apa yang jumlah huruf dal-nya ada lima. Yaitu surat Al Ikhlas. Orang kampung saya sering menyebutnya surat Qul hu. Di dalam surat ini ada lima huruf dal. Coba dihitung lagi jika kurang yakin.

Semua amal ibadah yang kita jalankan sehari-hari muaranya adalah mengesakan Allah dan penghambaan kepada-Nya. Dan itu terkandung di dalam Surat ke-112 ini. Banyak sekali keutamaan Surat Ikhlas. Salah satunya adalah surat ini mampu menyamai pahala bacaan satu Alquran penuh sampai khatam. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya ’membaca surat Ikhlas sebanyak tiga kali, sama seperti membaca Alquran sampai khatam’. Masing-masing huruf bernilai pahala tentunya.

Dari filosofi buah manggis dan delima ini, mendorong saya untuk terus mencari hikmah dan filosofi dari ciptakan Allah di muka bumi ini. Sembari niat beribadah.

Mavia Minyak Tanah

‘Mavia’ Minyak Tanah

Konversi minyak tanah ke gas elpiji yang sekarang berjalan di Jakarta ternyata membuat sebagian orang menjadi ‘pintar’. Pintar memanfaatkan kesempatan untuk membisniskannya demi meraup keuntungan yang berlipat-lipat.

Apa pasal ? Pasca konversi ke gas elpiji, ternyata minyak tanah tidak serta merta menghilang dari Jakarta. Tengok saja di jalan dan gang-gang masuk perkampungan di Jakarta, pasti pernah kita temui penjual minyak tanah keliling. Mereka tidak beralih menjual gas, seperti yang ada di iklan, tapi tetap keliling menjual minyak tanah. Hanya saja jumlah penjualnya tidak sebanyak dulu.

Begitu juga pangkalan minyak tanah. Pangkalan yang dulu ramai, tidak langsung mati pasca konversi. Beberapa pangkalan yang sering saya lewati, ternyata masih menggeliat beroperasi, meskipun secara sembunyi-sembunyi.

Saat melihat satu, dua, penjual minyak keliling lalu timbul pertanyaan, ”lho kok masih ada orang jual minyak tanah keliling, katanya sudah konversi ke gas elpiji,” tanyaku dalam hati. Dulu, tetangga saya sebelum pindah ke gas, katanya harus mencari minyak ke tempat yang cukup jauh. Itupun harganya mencapai 10 ribu. Tapi, ah, masa bodoh, toh saya pribadi belum membutuhkan kedua bahan bakar itu saat ini.

Ee.. lama-lama kelamaan, di saat musim hujan tiba, muncul keinginan membeli minyak tanah untuk memasak air buat mandi usai kehujanan. Yah, maklum tidak punya kompor gas. Yang ada di kost, cuma kompor bikinan Bang Benih pengrajin asal Depok.

Iseng-iseng coba tanya ke tetangga di mana penjual minyak tanah, ee malah ditertawakan. Ealah nasib..’bukannya tidak mau membeli kompor gas, mpok.. tapi takut meleduk seperti yang di tipi itu..’ jawabku kepada mpok-mpok yang tadi menertawakan saya. Lagian kalau pakai kompor gas semua, terus siapa dong yang beli kompornya Bang Sabenih pengrajin asal Depok, itu..!?

Naluri ’pencari beritaku’ muncul. Kebetulan tiap berangkat kerja, saya sering mampir nyarap di warteg yang letaknya tak jauh dari –bekas– pangkalan minyak tanah. Di pangkalan ini, nyaris tak terlihat ada aktifitas jualan minyak. Sepi dan berubah jadi tempat mangkal tukang sayur. Tiap hari nangkring di situ juga tak pernah lihat tukang minyak keliling menata dagangannya. Drum-drum minyak sudah dibersihkan. Papan nama sudah diturunkan.

Eit..ternyata saya tertipu. ’Pak Tua’ tukang warteg langsung nyerocos cerita ketika saya tanya, kenapa pangkalan ini tidak jualan minyak lagi. Dia langsung cas cis cus membeberkan bisnis minyak terselubung di pangkalan ini.

“Lha.. piye to mas..mas..di dalam rumah pangkalan itu masih banyak minyak tanah. Ya kalau dari luar tidak kelihatan,” ungkap Pak Tua polos. Dia cerita, minyak tanah yang dijual di pangkalan itu diambil dari kampung. Tepatnya dari suatu daerah di Jawa Tengah. Seminggu tiga kali sedikitnya 300 liter habis dijual di Jakarta. Minyak ini diambil dari kampung dengan harga Rp 3500 dan dijual di Jakarta dengan harga antara Rp 9500 – 10.000. Wuih.....!!!

Untuk membungkus jejak transportasi dari kampung, minyak tersebut dibawa pakai travel. Dimasukkan jerigen bekas minyak goreng yang masih ada merknya. “Tuh..lihat saja masih ada mobil dengan plat nomor daerah yang masih parkir di situ. Lha, mobil itulah yang mengangkut minyak,” beber Pak Tua sambil menunjuk mobil APV warna hijau tua yang sedang parkir di situ.

Ck..ck...ck...Hebat...! hebat...!

Coba dihitung, jika seminggu tiga kali jual minyak dengan keuntungan 6500/liter, keuntungan yang didapat minimal 2.5jt/minggu. Edan..po ora..! Pantesan pasokan minyak di kampung juga ikut kacau. Antre minyak terjadi di mana-mana, meski bukan daerah konversi. Lha kalau satu pangkalan seminggu sekali mengambil 300 liter minyak dari kampung dibawa ke Jakarta, kalau ada 50 pangkalan di Jakarta...lak yo habis to jatah minyak buat masyarakat di kampung. Oalah, gemblung tenan..!!

Begitu sadisnya ‘mavia minyak tanah’ mencari uang dengan cara seperti itu. Meskipun secara transaksi bisnis mencari untung adalah hak dalam jual beli, tapi jika kemudian membuat sengsara orang lain yang mestinya lebih berhak (orang kampung), saya yakin agama pasti melarang. Juga masuk kategori kriminal.

Ayo..! Siapa berani mengungkap jaringan mavia minyak tanah ini dan melaporkan polisi..!

Senin, 24 November 2008

Ingin Sehat, Kunyahlah Hingga Lembut

Kunyahlah Hingga Lembut

Perut kita ibarat waduk. Menampung semua makanan dan minuman yang masuk. Tak peduli manis, asem, asin atau bahkan pahit. Selama bisa melewati tenggorokan berarti akan ditampung di perut. Karenanya harus hati-hati dengan urusan perut.


Tanpa diminta, dengan sendirinya, segala makanan yang masuk akan digiling oleh perut kita. Baik di saat tidur maupun jaga, pencernaan kita akan terus bekerja. Tahu-tahu sudah jadi energi penyuplai tenaga bagi tubuh kita.


Ibarat mesin, pencernaan akan terus bekerja. Selama nyawa masih di kandung badan, pencernaan tak pernah berhenti menggiling makanan di perut. Tak peduli yang lunak maupun yang keras, semua akan dilumat oleh pencernaan kita.

Tapi bagaimanapun juga, organ tubuh kita butuh istirahat. Butuh sejenak behenti dari ‘pekerjaan menggiling’, meskipun tidak berhenti total (karena selama masih hidup berarti masih terus menggiling). Ini dimaksudkan untuk relaksasi. Mesin saja butuh istirahat, apalagi organ tubuh kita (kecuali detak jantung, pemompa darah).
Karenanya bagi umat Islam diharuskan puasa. Ibadah puasa akan memberi dampak positif bagi kesehatan tubuh kita. Oleh karenanya bagi yang bisa merasakan manfaat puasa bagi kesehatan, pasti akan semangat menjalankannya, meskipun puasa sunnah.


Bagi yang ‘males puasa’ ada tips lain yang juga bagus buat kesehatan kita. Yaitu, kunyahlah makanan Anda hingga lembut. Makanan yang dikunyah hingga lembut akan membantu proses penggilingan. Usus yang menggiling makanan akan terbantu dalam bekerja.

Rasulullah memerintahkan kita agar jangan tergesa-gesa menelan makanan. Kunyahlah terlebih dahulu hingga lembut. Paling tidak 33 kali kunyahan..(ha..). Upss..!! Jangan kaget dulu. Itu hitungan yang ideal. Kalaupun toh belum bisa sebanyak itu, minimal sudah mengunyah sampai lembut. Yang pasti setelah saya coba, kunyahan 5-10 kali itu belum lembut.

Ambil contoh begini, nasi yang kita kunyah 5-10 kunyahan, (maaf) coba kita keluarkan lagi. Tak perlu banyak-banyak. Cukup seujung lidah. Pasti buliran nasinya masih utuh. Itu artinya belum lembut. Lalu buanglah nasi yang dikeluarkan tadi dan teruskan mengunyah makanan yang ada di mulut hingga (terasa) lembut.
Ulangilah kebiasaan ini setiap Anda makan. Apa saja jenis makanannya. Terutama saat makan nasi. Rasakanlah manfaatnya bagi kesehatan perut. Perut Anda akan terasa ringan. Tidak ada rasa mengganjal di lambung mekipun saat kenyang. Bagi perut buncit (seperti saya) akan terasa biasa. Bahkan jika diniatkan untuk menjalankan sunnah rasul maka Anda dapat pahala. Bahkan dua pahala. Pahala makan untuk beribadah dan mengunyah makanan hingga lembut.


Oleh karena itu, perhatikan urusan makanan Anda. Ingat sabda Nabi ‘Perut adalah Sumber Segala Penyakit’
Selamat mencoba dan mendapatkan manfaatnya..!

Rabu, 19 November 2008

Berebut Hak di Jalan

Berebut Hak di Jalan

Lagi-lagi soal rebutan hak bagi para pengguna jalan. Siapa lagi pelakunya kalo bukan ‘Jagal Jalan’ alias sepeda motor. Kejadian pagi tadi bukan sesama sepeda motor tapi dengan pejalan kaki. Menurutku, jelas jomplang. Kalau ‘Jagal’ dengan ‘Jagal’ mungkin agak sebanding. Tinggal Jagal mana yang ngototnya lebih kencang, gertakannya lebih dahsyat dan ba bi bu-nya tok cer maka dia bisa menang. Tapi dengan syarat dia pada posisi benar, saya bisa maklum, sebab ini Ibu Kota, men..!. (kata judul di film, lebih kejam daripada ibu tiri). Siapa pintar dan benar maka dia tidak akan diinjak-injak haknya.
Tapi, karena kejadian tadi pagi benar-benar ulah ‘Jagal Jalan’ yang biadab, maka kekesalan itu terpaksa saya tumpahnya di blog ini.
Ceritanya begini, di Jl. Sisingamangaraja Jaksel arah ke Bunderan Patung Olah Raga, di situ selalu macet. Bukan hanya karena traffic light, tapi volume kendaraan memang cukup tinggi. Ini disebabkan pertemuan antara kendaraan dari arah Blok M & dari arah Pakubuwono.
Saling serobot sesama Jagal Jalan tak bisa dihindari. Bahkan saling serobot sesama roda 4 menuju jalur cepat juga kerap terjadi. Siapa gesit mencari celah maka selangkah dua langkah akan bisa mendapat tempat di depan. Uji nyali dan kendali emosi harus menjadi benteng bagi Jagal lain yang merasa didahului. Suasana seperti ini tak bisa dihindari. Karenanya butuh kesabaran ekstra ketat. Kita maklum, selama si Jagal yang gesit mencari celah dianggap tidak reseh dan masih dalam batas wajar, ya silakan saja. Kata stiker di spakbore belakang ‘Monggo Silakan Nyalip’. Ini pertanda Sesama Jagal Boleh Saling Mendahului.
Tapi yang membuat saya dan Jagal lain dongkol bahkan ingin ikut membantu nampar mukanya, adalah sikap Jagal yang mengambil hak-nya pejalan kaki di trotoar. Trotoar yang disediakan bagi pejalan kaki, di Jakarta, sering berubah fungsi. Bukan saja menjadi jalan bagi si Jagal, tapi kadang berubah menjadi tempat parkir, lapak kali lima bahkan untuk tambal ban.
Sepertinya, pejalan kaki tadi pagi orangnya santai. Tak terusik dengan hiruk pikuk kemacetan di sampingnya. Merasa berada di jalan yang benar, dia tidak menggubris klakson bersahutan di belakangnya. Alih-alih memberi celah bagi si Jagal untuk mendahuluinya, menoleh ke belakang pun tidak.
Beberapa Jagal yang sadar akan hak si pejalan kaki, lalu tahu diri. Mereka kembali ke jalan yang benar. Turun ke jalan raya dan memberi kesempatan pejalan kaki untuk menggunakan haknya.
Dua sampai lima kendaraan tahu diri. Dalam hatiku mereka cukup dewasa. Baik berfikir maupun berbuat. Hingga akhirnya dia mau kembali ke jalannya dan memberi hak pejalan kaki. Tapi tiba-tiba ada selonong boy memaksakan diri. Klakson dibunyikan berkali-kali. Bahkan terus menjejalkan kuda besinya ke sebelah kanan si pejalan kaki yang sempit. Merasa terusik, pejalan kaki tadi jengkel naik pitam. Dia berhenti dan membalikkan badan. Sepertinya pasang kuda-kuda ingin melakukan sesuatu. Akhirnya, prak…!! Tangan pun melayang ke (helm) kepala si Jagal.
Si Jagal tidak terima. Dia ingin membalas. Sambil membuka helm kuda besinya di standarkan. Ia mendekati pejalan kaki yang menamparnya. Begitu melihat wajah si Jagal masih belia, beberapa jagal lain berhenti melerai. Si Jagal yang masih ‘ingusan’ tadi dipegang tangannya oleh yang melerai. Ia dinasehati. Beberapa Jagal yang simpati kepada pejalan kaki, justru ikut membantu mengomeli bocah ingusan tadi. Satu di antaranya, nyelonong tanpa basa basi. Dia langsung meludah ke muka si bocah tadi. Juh……!!! Langsung pergi.
Sebetulnya saya ingin ‘berpartisipasi’ untuk meludahi, tapi kesempatan itu sudah didahului orang lain. Yah, cukuplah orang lain yang berbuat. Karena sering kali saya dijengkelkan dengan ulah-ulah seperti itu dan hingga mengusik saya ingin meludahi si Jagal brengsek.
Itulah kondisi pengguna jalan di Jakarta. Yang sebetulnya masing-masing sudah diberi hak dan sudah diatur lajurnya sedemikian rupa. Supaya pengguna jalan berada di trek yang sebenarnya.






Selasa, 28 Oktober 2008

Filosofi Lontong, Ketupat dan Lepet

Filosofi Lontong, Ketupat dan Lepet

Tiga macam makanan khas lebaran itu selalu menghiasi meja makan kita setiap Idul Fitri tiba. Mereka yang gak suka makanan itupun terpaksa membuat, karena takut dianggap tidak punya lebaran (karena gak ikut puasa)…

Orang tua kita dulu, tidak asal membuat sesuatu tanpa pesan moral yang terkandung di dalamnya. Apa pesan moral yang terkandung di dalam ketiga makanan tersebut ?

Lontong : (K)lontong-kan hatimu, kosongkan hatimu, gembukkan hatimu. Agar kamu punya sikap peduli dan empati kepada sesama. Salah satu karakteristik lontong adalah lunak / tidak keras. Hati yang gembuk (tidak keras) akan mudah menerima nasehat orang lain. Orang yang hatinya lunak pasti mudah dinasehati, mudah menolong orang lain.

Klontong adalah jembatan kecil. Ia sebagai sarana orang menyebrang dari satu tempat ke tempat lain. Bentuknya bulat dan bolong. Dengan klontong ini, orang akan bisa melangkah dari satu tempat ke tempat lain dengan mudah. Tanpa klontong, orang akan susah payah meloncat untuk menyebrangi jalan.

Sebuah filosofi indah dan menawan dan bisa kita praktekkan di dalam kehidupan kita sehari-hari. ‘Punya hati / jiwa yang lapang’, ‘Suka membantu, menolong dan meringankan beban orang lain’, ‘Mudah dinasehati dan mudah menerima nasehat itu sebagai pengingat diri’

Ketupat : Bahasa Jawa-nya Kupat. Kepanjangan dari nga-KU le-PAT (berani mengakui kesalahan). Tidak ada yang sempurna di dunia ini kecuali Allah dan Rasul. Kita pasti pernah melakukan kesalahan. Namun amat jarang sekali diantara kita yang mau mengakui kesalahan. Baik salah kepada Allah atau salah kepada orang lain.

Orang yang mengakui kesalahan berarti dia orang yang pemaaf. Tanpa diminta maaf oleh orang lain yang berbuat salah kepadanya maka ia akan memaafkan. Suatu saat ketika dia salah, maka langsung mengakui dan meminta maaf.

Zaman sekarang berat sekali mengakui kesalahan diri sendiri. Yang ada hanyalah menutup-nutupi kesalahan kita.

Dengan Kupat berarti kita harus gentle mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada orang yang kita buat kesalahan tadi

Lepet : Makanan ini hanya ada di sekitar Jawa (tengah dan timur). Juga bagian dari makanan khas lebaran. Selain jawa tengah dan timur, mereka tidak membuat makanan ini.

Bahan bakunya ketan. Bungkusnya memakai daun kelapa muda. Kalau yang suka variasi, ya ditambah kacang tolo atau potongan kelapa muda.

Makanan ini mirip lontong. Hanya bedanya, ujung dan pangkal lepet diikat dengan tali bamboo (kecil). Tengah juga diikat. Mirip seperti mengikat orang yang sudah meninggal.

Makanan ini membawa pesan moral bahwa semua kita pasti akan ; mati

Rabu, 15 Oktober 2008

Hikmah (setelah) Ramadhan

Hikmah (setelah) Ramadhan

Wisudawan wisudawati Ramadhan yang dimuliakan Allah..

Setelah kita lalui ujian selama sebulan penuh, akhirnya dapat juga kita raih sebuah gelar baru yakni sarjana Ramadhan. Semoga predikat muttaqin tetap tersemat di pundak kita. Sehingga sebelas bulan ke depan kita tetap dapat menjaga sikap kepribadian kita seperti pelajaran yang kita dapatkan selama bulan Ramadhan.

Dengan semangat Idul Fitri 1429 H, dan mumpung masih di bulan Syawal saya ucapkan ja’alanallahu waiyyakum minal aidin wal faizin, wa antum kullu aamin bikhoirin. Taqabbalallahu minna wa minkum, amin. Jika ada khilaf & kesalahan saya kepada para pembaca semua, saya tidak segan untuk meminta maaf kepada pembaca semua.

Banyak pelajaran penting kita dapatkan selama bulan Ramadhan. Hingga saking banyaknya, saya tidak mampu untuk menuliskannya di blog saya ini. Tapi insya Allah sudah terekam di memori saya dan orang-orang yang sempat mendengar kultum-kultum singkat saya di berbagai kesempatan.

Itu semua merupakan hasil renungan dan kilas balik ilmu yang saya dapatkan dan pernah saya pelajari. Pada kesempatan Ramadhan lalu, alhamdulillah saya mau mencoba dan sengaja memaksakan diri untuk berbagi ilmu dengan jamaah sholat tarawih di tempat tinggal saya. Karena tuntutan itulah akhirnya saya dipaksa untuk membaca dan kulakan ilmu dari berbagai macam kesempatan, sekaligus me-muthola’ah (membaca ulang) atas ilmu-ilmu yang pernah saya kaji. (karena Ramadhan-ramadhan tahun sebelumnya saya tidak pernah mau memanfaatkan kesempatan seperti itu)

Hikmahnya cukup saya rasakan. Terutama dapat membangkitkan saya untuk terus mengasah kemampuan retorika saya dalam berdakwah menyampaikan syariat Islam. Puncaknya, saya rasakan saat Idul Fitri tiba. Kesempatan menjadi khotib kali kedua di Masjid Al Husna kampung saya, menjadi titik ukur sejauhmana saya bisa merasakan perubahan atas diri saya, terutama dalam hal ‘berbicara’. Al hamdulillah, isi khutbah saya, menurut banyak orang yang berkomentar langsung kepada saya atau kepada keluarga saya, cukup menyentuh dan sesuai konteknya (Ya Allah, jauhkanlah saya dari sifat sombong dan riya). (tema yang saya bawakan ‘Berbuat Baik Kepada Orang Tua’)

Memang saya melihat sendiri saat khutbah, jamaah yang berada di barisan paling depan, banyak yang sesenggukan dan menyeka air mata serta mengusap ingus. Pertanda dia terharu dan tersentuh dengan isi khutbah saya. Usai khutbah berlangsung, saya didekati banyak jamaah, mulai dari yang meminta copian khutbah, sampai yang membenarkan isi khutbah saya (sambil menangis di hadapan saya). “bener kuwe noor.., nek ora mbok elengke ngono, bocah saiki podo lali lan kurang ajar karo wong tuwo” (betul apa yang kamu sampaikan, noor –panggilan akrab saya di kampung– kalau tidak kamu ingatkan seperti itu, anak-anak sekarang lupa dan kurang ajar sama orang tua).

Saya membayangkan, andai saja khotbah tahun lalu saya sampaikan dengan bahasa jawa, seperti yang saya sampaikan tahun ini, mungkin isinya akan lebih mengena dan lebih diterima oleh semua jamaah solat Id. Tapi karena tahun lalu saya memakai bahasa Indonesia, akhirnya isi khutbah saya belum bisa berkesan seperti khotbah saya tahun ini. Memang awalnya saya mencoba (maaf) ‘sok’ intelek dan menggunakan beberapa istilah yang kurang membumi, namun justru masyarakat kurang respek dan kurang simpatik, meskipun sebagian kalangan orang-orang moderen saat ini, bisa mencerna bahasa dan isi khutbah saya. Tapi diakui oleh para ibu-ibu bahwa banyak istilah dan pola pikir yang belum nyambung dengan pikiran mereka sehingga isi khutbah tidak bisa ditangkap dan dicerna secara utuh dan menyeluruh.

Akhirnya saya sadar dan ingat atas sabda Rasulullah yang artinya ‘berbicaralah dengan orang lain sesuai kemampuan akal mereka’. Karenanya kita harus melihat kepada calon audiens sebelum kita bicara, kita pelajari dulu siapa pendengarnya. Lalu kita harus menyesuaikan bahasa kita dengan bahasa mereka agar bisa dicerna. Apalah artinya kita bicara muluk-muluk tapi orang lain tidak tahu. Apalagi sampai mau merubah diri. Padahal tujuan berdakwah kita, tujuan kita menyampaikan agama adalah merubah perilaku dari yang salah menuju yang benar, dari yang bathil menuju yang haq, dari yang bengkok menuju yang lurus.